MAKALAH JUAL BELI DALAM ISLAM


BAB I                   
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Atas dasar  pemenuhan kebutuhan sehari –hari, maka terjadilah suatu kegiatan yang di namakan Jual beli. Jual beli menurut bahasa artinya menukar sesuatu dengan sesuatu, sedang menurut syara’ artinya menukar harta dengan harta menurut cara-cara tertentu (‘aqad). Sedangkan Riba yaitu memiliki sejarah yang sangat panjang dan prakteknya sudah dimulai semenjak banga Yahudi sampai masa Jahiliyah sebelum Islam dan awal-awal masa ke-Islaman. Padahal semua agama Samawi mengharamkan Riba karena tidak ada kemaslahatan sedikitpun dalam kehidupan bermasyarakat. Allah SWT berfirman:
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan Riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (QS an-Nisaa’ 160-161)
2.      Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian Jual beli, laba dan Riba
b.      Apa landasan hukum Jual beli, laba dan Riba
c.       Bagaimanakah hukum Jual beli, laba dan Riba?
3.      Tujuan Penulisan
a.       Mengetahui bagaimana cara bermuammalah yang benar,yang diaajarkan oleh agama Islam.
b.      Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kita tentang Muammalahdalam Islam.
c.       Menyelesaikan tugas mata kuliah yang telah diberikan oleh Dosen.

BAB II
PEMBAHASAN
1.        Jual beli
a.         Pengertian Jual beli
Secara Terminologi Fiqh Jual beli disebut dengan Al-Ba’i yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lainnya.
Menurut Hanafiah pengertian Jual beli (Al-Ba’i) secara definitif yaitu tukar menukar harta benda atau sesuatu yag diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Adapun menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa jual beli (Al-Ba’i) yaitu tukar menukar harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.
Berdasarkan defenisi diatas, maka pada intinya Jual beli itu adalah tukar menukar barang. Hal ini telah dipraktikkan oleh masyarakat primitif ketika uang belum digunakan sebagai alat tukar menukar barang, yaitu dengan sistem barter yang dalam Terminologi Fiqh disebut dengan Ba’iAl-Muqayyadah.
b.         Rukun (Unsur) Jual beli
Rukun Jual beli ada 3, yaitu :
a.       yaitu penjual dan pembeli.
b.      Objek transaksi yaitu harga dan barang.
c.       Akad (Transaksi), yaitu Pelaku transaksi, segala tindakan yang dilakukan kedua belah pihak yang menunjukkan mereka sedang melakukan transaksi, baik tindakan itu berbentuk kata-kata maupun perbuatan.
Menurut kompilasi hukum ekonomi syar’ah, usur Jual beli ada 3 yaitu :
a.       Pihak-pihak. Pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian Jual beli terdiri atas penjual, pembeli dan pihak lain yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
b.      Objek. Objek Jual beli terdiri atas benda yang berwujud dan benda yang tidak berwujud, yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak dan yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar
c.       Kesepakatan. Kesepakatan dapat dilakukan dengan tulisan, lisan dan isyarat, ketiganya mempunyai makna hukum yang sama. Ada dua bentuk akad yaitu :
Ø  Akad dengan kata-kata, dinamakan juga dengan nama ijab kabul. Ijab yaitu kata-kata yang diucapkan terlebih dahulu. Misalnya : penjual berkata : “Baju ini saya jual dengan harga Rp 10.000,-. Kabul yaitu kata-kata yang diucapkan kemudian. Misalnya pembeli berkata : “Barang saya terima”.
Ø  Akad dengan perbuatan, dinamakan juga dengan Mu’athah. Misalnya pembeli memberikan uang seharga Rp 10.000,- kepada penjual, kemudian mengambil barang yang senilai itu tanpa terucap kata-kata dari kedua belah pihak.[1]
c.          Hukum Jual beli
Jual beli telah disahkan oleh Al-qur’an, Sunnah dan Jima’. Adapun dalil Al-Qur’an adalah Q.S. Al-Baqarah/2: 275: “Allah telah menghalalkan Jual beli dan mengharamkan Riba”. Dan firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’/4: 29: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”
Adapun dalil sunnah diantaranya adalah hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, Beliau bersabda : “Sesungguhnya Jual beli itu atas dasar saling ridha.” Ketika ditanya usaha apa yang paling utama, beliau menjawab: “Usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap Jual beli yang mabrur.” Jual beli tang mabrur adala setiap Jual beli yang tidak ada dusta dan khianat, sedangkan dusta adalah penyamaran dalam barang yang dijual dan penyamaran itu adalah penyembunyian aib barang dari penglihatan pembeli. Adapun makna khianat itu lebih umum dari itu sebab, selain menyamarkan bentuk barang yang dijual, sifat, atau hal-hal luar seperti dia menyifatkan dengan sifat yang tidak benaratau memberi tahu harta yang dusta.[2]
d.         Syarat Sahnya Jual beli
Suatu Jual beli tidak sah bila tidak memenuhi dalam suatu akad tujuh syarat, yaitu :
1.      Saling rela antara kedua belah pihak, berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nisa’/4: 29, dan hadist Nabi diriwayatkan oleh Ibnu Majah: “Jual beli haruslah atas dasar kerelaan (suka sama suka).”
2.      Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yang telah baligh, berakal dan mengerti.
3.      Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebalumnya oleh kedua belah pihak. Hal ini berdasarkan hadist Nabi SAW yang diriwayatkan olehAbu Daud dan Tirmizi. “Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu”.
4.      Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan dalam agama. Hal ini berdasarkan Hadist Nabi. “Sesungguhnya Allah bila mengharamkan suatu barang juga mengharamklan nilai jual barang tersebut.”
5.      Objek transaksi adalah barang yang buiasa diserah terimakan. Hal ini berdasarkan hadist Nabi. “Dari Au Hurairah r.a bahwa Nabi Muhammad SAW melarang Jual beli gharar (penipuan).
6.      Objek Jual beli diketahui oleh kedua belah oihak pada saat akad.
7.      Harga harus jelas saat transaksi. Maka tidak sah Jual beli dimana penjual mengatakan : “aku jual mobil ini kepadamu dengan harga yang akan kita sepakati nantinya”. Hal ini berdasarkan hadist Riwayar muslim tersebut.[3]
e.          Saksi dalam Jual beli
Jual beli dianjurkan dihadapan saksi, berdasarekan firman Allah QS. Al-baqarah/2: 82. “Dan persaksikanlah apabila kalian berJual beli”.Demikian ini karena Jual beli yang dilakukan dihadap saksi dapat menghindari terjadinya perselisihan dan menjauhkan diri dari sikap paling menyangkal. Oleh karena itu, lebih baik dilakukan, khusunya bila barang dagangan tersebut mempunyai nilai yang sangat mahal (penting). Billa barang dagangan itu nilainya sedikit, maka tidak dianjurkan mempersaksikannya. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Hanafiyah, Ishak dan Ayyub.[4]
f.           Bentuk-bentuk Ba’i (Jual beli)
Dari berbagai tinjauan, ba’i dapat dibagi menjadi berberapa bentuk. Berikut ini bentuk-bentuk ba’i :
1.   Ditinjau dari sisi objek akad ba’i yang menjadi :
a.    Tukar-menukar uang dengan barang
b.   Tukar-menukar  barangdengan barang
c.    Tukar-menukar uang dengan uang
2.   Ditinjau dari sisi waktu serah terima, ba’idibagi menjadi empat bentuk :
a.    Barang dan uang serah terima dengan tunai, ini bentuk asal ba’i
b.   Uang dibayar dimuka dan barang menyusul pada waktu yang disepakati, ini dinamakan Salam
c.    Barang diterima dimuka dan uang menyusul, disebut dengan ba’i ajal (Jual beli tidak tunai). Misalnya Jual beli kredit
d.   Barang dan uang tidak tunai, disebut ba’i dain bi dain (Jual beli utang dengan utang),
3.   Ditinjau dari menetapkan harga, ba’i dibagi menjdi :
a.    Ba’i Musawamah, (Jual beli dengan tawa- menawar) yaitu Jual beli dimana pihak penjual tidak menyebutkan harga pokok barang, akan tetapi menetapkan tertentu dan membuka peluang untuk ditawar.
b.   Ba’i Amanah, yaitu Jual beli dimana piohak penjual menyebutkan harga jual barang tersebut. Ba’i jenis ini terbagi lagi menjadi tiga bagian:
a)      Ba’i Mudharabah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok barang dan laba.
b)      Ba’i al-wadh’iyyah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok barang atau menjual barang tersebut dibawah harga pokok.
c)      Ba’i Tauliyah, yaitu penjual menyebutkan harga pokok dan menjualnya dengan harga tersebut, misalnya penjual berkata : “barang ibu saya beli dengan harga Rp10.000,- dan saya menjual sama dengan harga pokok.”[5]
g.         Persyaratandalam Jual beli
Hukum asal persyaratan dalam Jual beli adalah sah dan mengikat, maka dibolehkan bagi kedua belah pihak menambahkan persyaratan dari akad awal. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT yang artinya. “Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”. (QS al-Maidah/5: 1). Dan hadist Rasulullah SAW : “Diriwayatkan dari Amru bin Auf bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang islam itu terikat dengan persyaratan (yang mereka buat)  selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmizi).
Melihat hadist diatas, maka persyaratan dalam Jual beli dibagi menjadi dua yaitu :
1.   Persyaratan yang dibenarkan dalam agama
2.   Persyaratan yang dilarang dalam agama
Adapun persyaratan yang dibenarkan dalam agama, misalnya :[6]
1.      Persayaratan yang sesuai dengan akad. Misalnya sesorang membeli mobil dan mempersyaratkan kepada penjual agar menanggung cacatnya.
2.      Persyaratan Tausiqiyah, yaitu penjual mesyaratkan pembeli mengajukan dhamin (penjamin/ guarantor).
3.      Persyaratan Wasyfiyah, yaitu pembeli mengajukan persyaratan kriteria tertentu pada barang atau cara tertentu pada pembayaran.
4.      Persyaratan manfaat pada barang.
5.      Persyaratan Taqyidiyyah, yaitu salah satu pihak mensyaratkan hal yang bertentantangan dengan kewenangan kepemilikan.
6.      Persyaratan akad fi akad, yaitu menggabunbgkan dua akad dalam satu akad.
7.      Syarat jaza’i (persyaratan denda/ kausul penalti), yaitu persyaratan yang terdapat dalam suatu akad mengenai pengenaan denda apabila ketentuan akad tiudak terpenuhi.
8.      Syarat Takliqiyyah. Misalnya penjual berkata : “saya jual mobil ini kepadamu dengan harga Rp50.000.000,- jika orangtuaku setuju”. Lalu pembeli berkata, “saya terima”. Dan jika orang tuanya setuju maka akadnya sah.
Adapun persyaratan yang dilarang dalam agama, Misalnya :
1.      Persyaratan yang menggabungkan akad Qaradh dengan Ba’i, misalnya : Pak Ahmad meminjamkan uang kepada Pak Khalid sebanyak Rp50.000.000,- dan akan dikembalikan dengan jumlah yang sama dengan syarat Pak Khalid menjual mobilnya kepada Pak Ahmad dengan harga Rp30.000.000,-.
Persyaratan ini hukumnya haram karena merupakan media menuju Riba, karena harga mmobil Pak Khalid lebih mahal dari tawaran Pak Ahmad, akan tetapi ia merasa sungkan menaikkan harga mobil mengingat pinjaman yang akan diberikannya. Rasulullah SAW bersabda : “Tidak dihalalkan menggabungkan akad pinjaman uang dengan akad ba’i.”(HR. Abu Daud).
2.      Persyaratan yang bertentangan dengan tujuan akad. Misalnya, seseorang menjual mobilnya dengan syarat kepemilikannya tidak berpindah kepada pembeli. Persyaratan ini bertentangan dengan tujuan akad, karena tujuan akad Ba’i adalah perpindahan kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan dengan adanya persyaratan ini maka akad Ba’i menjadi semu. Inilah bentuk-bentuk peryaratan yang tidak dibenarkan dan tidak wajib dipenuhi, berdasarkan sabda Nabi SAW: “setiap persyaratan yang bertentangan dengan nama Allah tidak sah sekalipun 100 persyaratan.” HR. Bukhari Muslim)[7]
2.        Akad dalam Jual beli
1.   Salam (In-Front Payment Sale)
a.      Pengertian Salam (Jual beli dengan Pembayaran di Muka)
Salam sinonim dengan salaf. Salam secara termonologis adalah transaksi terhadap sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan dalam suatu tempo dengan harga yang diberikan kontan ditempat transaksi.[8]
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan Jual beli yang pembiayaannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.[9]
b.      Rukun dan Syarat Salam
Sebagaimana Jual beli, dalam akad Salam harus terpenuhi rukun dan syartanya. Adapun rukun Salammenurut jumhur ulama ada 3 yaitu :[10]
·         Shigat, yaitu ijab dan Kabul
·         aqidani (dua orang yang melakukan transa.ksi), yaitu orang yang memesan dan orang yang menerima pesanan.
·         Objek transaksi, yaitu harga dan barang yang dipesan.[11]
Adapun syarat-syarat dalam Salam sebagai berikut :
·         Uang dibayar ditempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu
·         Barangnya menjadi hutang bagi penjual.
·         Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu dijanjikan barang itu harus sudah ada.
·         Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, takarannya, ataupun bilagannya, menurut kebiasaan cara menjual barang semacan itu.
·         Diketahui dan disebutkan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak ada keraguan yang mengakibatkan perselisihan antara keddua belah pihak.
·         Disebutkan tempat menerimanya.[12]
2.   Dasar Hukum Salam
Yang menjadi dalil pelaksanaan Jual beli Salam  yaitu :
a)      QS. Al-Baqarah/2: 282 sebagai berikut : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuammalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.”
b)      Al-Hadist sebagai berikut : “Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW dating ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata “Barang siapa yang melakukan salafm (salam), hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang ditentukan.” Dalam hadist lain : “Dari Shihab r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: Jual beli secara tangguh, muqharabah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).

3.        Riba
a.         Pengertian Riba
Kata Riba diterjemahkan dalam bahasa inggris dengan usury yang mengandung dua dimensi pengertian yaitu:
1)   Tindakan atau praktik peminjaman uang dengan tingkat suku bunga yang berlebihan dan tidak sesuai dengan hukum.
2)   Suku bunga dengan rate yang tinggi.
Al qur’an dan hadis menggunakan istilah “Riba” yang oleh para ahli diterjemahkan sebagai “bunga”. Kita tidak menjumpai definisi bagi istilah tersebut baik di dalam Al qur’an maupun didalam hadis Nabi SAW. [13]

b.         Dasarlogis pelarangan Riba
Sumber utama (Al-qur’an dan Sunnah) tidak memberikan dasar pemikiran mendetail atas pelarangan Riba (bunga) yang menyebut bunga sebagai bagian dari ketidakadilan. Para cendikiawan muslim kontemporer, khususnya para ekonom, telah memberikan beberapa dasar pemikiran bagi pelarangan ini dengan menunjukkan secara tidak langsung konsekuensi dari dari eksistensi bunga pada masyarakat modern, atau dengan berpendapat bahwa teori ekonomi modern tidak memberikan justifikasi bagi eksistensi keharusan tingkat suku bunga. Sebagian yang lain berpendapat bahwa kebijakaan dan pemahaman manusia amat terbatas jika dibandingkan dengan pengetahuan Allah SWT. Dan karena setiap usaha untuk memahami secara penuh dasar pemikiran pelarangan Riba bisa jadi tidak memberikan pemahaman yang optimal.
c.          Jenis-jenis Riba dimasa kehadiran Islam
Berdasarkan praktik yang berlaku dimasa kehadiran Islam serta dengan tetap memandang hadis nabi Muhammad SAW, para fuqaha menggolongkan Riba menjadi 2, yakni:
1)      Riba Nasi’ ah, berarti bunga yang dikenakan pada uang pinjaman. Menurut para fuqaha, Riba nasi’ah mengandung 3 elemen berikut:
a)      Kelebihan dari utang pokok.
b)      Menentekukan besarnya kelebihan tersebut dalam hubungannya dengan waktu.
c)      Kelebihan tersebut syarat berlangsung transaksi pinjaman.
2)      Riba Fadhl adalah nama bunga pada transaksi barter komoditas. Ribanya terletak pada pembayaran tambahan oleh debitur kepada kreditur dalam pertukaran komoditas sejenis, seperti gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan sebagainya. Unsur-unsur Riba Fadhl adalah sebagai berikut:
a)      Kedua barang yang dipertukarkan adalah homongen atau sejenis.
b)      Jumlah keduanya berbeda dalam timbangan maupun takaran.
c)      Transaksi itu mestilah tidak berlangsung tunai.
d.         Al-qur’an tentang Riba
Di masa-masa awal munculnya islam, bunga telah ada di dalam masyarakat arab dalam transaksi pinjaman uang maupun transaksi barter komoditas. Berikut ini adalah ayat-ayat al-qur’an yang berhubungn dengan bunga :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda[14]dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” ( QS. Ali ‘Imran [3] : 130 ).
e.          Hadist Nabi Muhammad SAW tentang bunga (Riba)
Berikut ini ada hadist nabi muhammad yang berhubungan dengan bunga :
“Umar bin al-khathab meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Emas ditukar emas adalah Riba kecuali (transaksi) tunai; perak ditukar perak adalah Riba kecuali (transaksi)  tunai;  gandum ditukar gandum adalah Riba kecuali (transaksi) tunai; bur ditukar bur adalah Riba kecuali (transaksi) tunai; kurma ditukar kurma adalah Riba kecuali (transaksi) tunai.”  (HR. Bukhari dan Muslim).
f.           Sebab-sebab dilarangnya bunga
Sebab-sebab dilarangnya bunga yaitu :
a)      Riba atau bunga menanamkan rasa kikir, mementingkan diri sendiri, tak berperasaan, tak peduli, kejam, rakus, dan penyembahan terhadap harta. Bunga menghancurkan semangat simpati, saling tolong dan kerja sama.
b)      Bunga mengembangbiakkan kemalasan dan  menimbulkan pendapatan tanpa bekerja.
c)      Bunga juga menebabkan timbunya kejahatan ekonomi. Ia mendorong orang melakukan penimbunan uang.
d)     Investasi modal terhalangdari perusahaan-perusahaan yang tidak mampu menghasilkan laba yang sama atau lebih tinggi dari suku bunga yang sedang berjalan.
e)      Bunga yang dipungut pada utang internasional malah lebih buruk lagi karena memperparah DSR(Debt-service ratio) negara-negara debitur.
4.        Murabahah (Laba)
a.         Pengertian Murabahah (Laba)
Murabahah atau disebut juga ba’i bitsmanil ajil. Kata Murabahah  berasal dari kata ribhu (keuntungan).Sehingga Murabahah berarti saling menguntungkan.
Secara sederhana Murabahah berarti Jual beli barang ditambah keuntungan yang disepakati. Jual beli secara Murabahah  secara terminologis adalah pembiayaan yang saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi Jual beli dengan penjelasan bahwa harga penggadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembabilannya dilakukan secara tunai atau angsur.[15]
b.         Dasar Hukum
Murabahah adalah suatu jenis Jual beli yang dibenarkan dalam syariah dan merupakan implementasiMuammalah tijariyah (interaksi bisnis). Hal ini berdasarkan kepada Q.S al-Baqarah/2: 275: “Allah menghalalkan Jual beli dan mengharamkan Riba”.

5.        Perbedaan Jual beli Murabahah dengan Bunga[16] (Riba)
Perhatikan tabel dibawah ini.
No
Jual beli Murabahah
Bunga/Riba
1
Barang sebagai objek, nasabah berutang barang, bukan berurang uang.
Uang sebagai objek, nasabah sebagai uang.
2
Sektor moneter terkait dengan sektor riil, sehingga menyentuh langsung sektor riil.
Sektor moneter dan riil terpisah, dan ada keharusan mengkaitkan sektor moeter dan riil.
3
Mendorong percepatan arus barang, mendorong  produktivitas dan trapreneurship, yang pada gilirannya meningkatkan employment.
Tidak mendorong percepatan arus barang, karena tidak mewajibkan adanya barang, tidak mendorong produktivitas yang pada akhirnya menciptakan unemployment.
4
Pertukaran barang dengan uang. 
Pertukarang uang dengan uang. 
5
Margin tidak berubah.
Bunga berubah sesuai tingkat bunga. 
6
Akad Jual beli dan memenuhi rukun Jual beli. 
Tidak ada akad Jual beli, tetapi langsung dengan komoditas. 
7
Bila macet tidak ada bunga berbunga.
Terjadi Compound interest. 
8
Jika nasabah tidak mampu membayar, tidak ada denda (Q.S Al- Baqarah/ 2: 283).
Denda/ bunga.


9
Jika nasabah dinilai mampu, tetapi tidak membayar, dikenakan denda untuk mendidik. dananya untuk sosial bukan pendapatan bank.
Denda/ bunga berbunga cenderung mendzalimi/ekploitasi,tidak mendidik dan denda bunga menjadi pendapatan bank. 
10
Terjadinya pemindahan kepemilikan, barang sekaligus menjadi jaminan.
Tidak ada pemindahan kepemilikan.

11
Tidak membuka jalan spekulasi. 
Bunga membuka peluang/ menjadi lahan spekulasi.
12
 Sah, halal dan penuh berkah.
Tidak sah, dan jauh dari berkah serta mendapat laknat. 
13
Uang sebagai alat tukar (purchashing  power).
Over supply of money (Inflasi dan devaluasi ).

BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Jual beli itu adalah tukar menukar barang. Hal ini telah dipraktikkan oleh masyarakat primitif ketika uang belum digunakan sebagai alat tukar menukar barang, yaitu dengan sistem barter yang dalam Terminologi Fiqh disebut dengan Ba’i Al-Muqayyadah.
Kata Riba diterjemahkan dalam bahasa inggris dengan usury yang mengandung dua dimensi pengertian yaitu, Pertama, Tindakan atau praktik peminjaman uang dengan tingkat suku bunga yang berlebihan dan tidak sesuai dengan Hukum. Kedua, Suku bunga dengan rateyang tinggi. Adapun pembagian Riba ada 2 macam yaitu :
a.       Riba Nasi’ ah
b.      Riba fadhl
2.      Saran
Kita sebagai umat muslim yang ta’at beragama tidak ada salahnya bagi kita untuk bermuammalah, akan tetapi bermuammalahlah dengan cara yang telah dianjurkan dalam islam yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat terdahullu.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Saran dan masukan dari kawan-kawan akan sangat membantu dalam penyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah (Fiqh Muammalah), (Jakarta: Kencana, Prenada Media, 2011).

[1] Yusuf Alsubaly, Fiqh Perbankan Syari’ah : Pengntar Fiqh Muammalah dan aplikasinya dalamEkonomi Modern, Alih Bahasan : Erwandi Tarmizi, (TTP: Darul Ilmi, t.th,) hlm.6
[2] Zakaria Al-Anshari, Hasyiah Ibn Abidin, (Beirut: Dar al-fikr, t.th) hlm.2-4
[3] Ibid
[4] Abdullah bin Muhammad Ath-Thyyar, Loc. Cit, hal 18
[5] Yusuf al-Subaily, Loc. Cit. hal 4-6
[6] Yusuf al-Subaily, Loc. Cit. hal 15-16
[7] Ibid, hlm 17.
[8] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Ekslikopedi Muamalah, (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), Hlm 237.
[9] Pasal 20 ayat (34).
[10] Menurut Imam Hanafi bahwa rukun Salam itu Shigat saja.
[11] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar, Op. cit, hlm. 138.
[12] Dwe Gemala et, al., Hukum Perikatan Islam di Indinesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm 114.
[13] Sebenrnya, bukan hanya Riba yang tidak difenisikan oleh Al qur’an maupun sunnah nabi SAW., bahkan semua kejahatan yang lain juga tidak difenisikan, seperti membunuh, berzina, mencuri, dan sebagainya yang jelas baik Al Qur’an maupun sunnah nabi SAW menggunakan istilah langsung dimengerti oleh para pendengar pertama mereka, yakni orang Arab pada masa itu.
[14] Yang dimaksud Riba disini ialah Riba nasi’ah, menurut sebagian besar ulama bahwa Riba nasi’ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda
[15] Pasal 20 ayat (6).
[16] Nurul Huda dan Muhammad Heykal. Loc. cit, hlm. 45.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MAKALAH JUAL BELI DALAM ISLAM"

Post a Comment

/* script Youtube Responsive */