MAKALAH SEJARAH BANI UMAYYAH


Dengan berakhirnya kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib, maka lahirlah kekuasaan dinasti Bani Umayah. Pada periode Ali dan Khilafah sebelumnya, pola kepemimpinan masih mengikuti keteladanan Nabi. Para Khalifah dipilih melalui proses musyawarah. Ketika mereka mengalami kesulitan-kesulitan. Maka mereka mengambil kebijakan langsung melalui musyawarah dengan para pembesar lainnya.
Hal ini jauh berbeda dengan masa sesudah Khulafaur rasyidin atau masa dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya, yang dimulai pada masa dinasti Bani Umayyah. Adapun bentuk pemerintahannya adalah kerajaan, kekuasaan bersifat feodal, atau turun-menurun. Untuk mempertahankan kekuasaan, khalifah berani bersikap otoriter, adanya unsur kekerasan, diplomasi yang diiringi dengan tipu daya serta hilangnya musyawarah dalam pemilihan khalifah.
Umayyah berkuasa kurang lebih selama 91 tahun. Reformasi cukup banyak terjadi, terkait pada bidang pengembangan dan kemajuan pendidikan Islam. Perkembangan ilmu tidak hanya dalam bidang agama semata melainkan juga dalam aspek teknologinya. Sementara sistem pendidikan masih sama ketika masa Rasul dan Khulafaur rasyidin, yaitu kuttab yang pelaksanaannya berpusat di masjid .

B.     Rumusan Masalah
a.      Bagaimanakah asal mula terbentuknya Dinasti Bani Umayyah?
b.      Bagaimanakah pola pemerintahan Bani Umayyah?
c.       Kebijakan apa sajakah yang terdapat pada Dinasti Bani Umayyah?
d.       Bagaimanakah pola pendidikan pada Dinasti Bani Umayyah?
e.       Praktik Keadilan pada Dinasti Bani Umayyah?
f.       Apakah penyebab Kemunduran Dinasti Bani Umayyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pendirian Dinasti Bani Umayyah

1.      Asal Mula Terbentuknya Dinasti Bani Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan dianggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.[1]
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan, gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Siffin, pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
2.      Pengambil Alihan Kekuasaan
     Implementasi dari terjadinya Perang Siffin terhadap pergulatan dunia dalam Islam menimbulkan polemik Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Padahal jika ditinjau dari garis keturunan, keduanya ini masih satu garis keturunan. Pengikut Ali yang ingkar dinamakan dengan golongan khawarij,golongan ini dianggap sebagai sekte yang pertama dalam Islam. Golongan khawarij menyetujui adanya tahkim serta menyatakan keluar dari golongan Ali. Anggapan mereka tahkim itu sendiri juga penyimpangan, karna sudah tidak sesuai lagi dengan semboyan “La Hukma illa lillah” (tiada hukum selain hukum Allah).[2]
     Golongan khawarij merencanakan pembunuhan terhadap Ali bin Abi Thalib, Muawiyah ibn Abi Sofyan, serta Amr ibn ‘ash. Kemudian kaum khawarij mengutus beberapa orang untuk membunuh mereka. Dan utusan tersebut adalah Abd.ar-Rahman ibn Muljam yang berangkat ke Kuffah untuk membunuh Ali, Al Baraq ibn Abdillah at-Tamimi berangkat ke Syam untuk membunuh Muawiyah, ’Amr ibn Bakr at-Tamimi berangkat ke Mesir untuk membunuh ‘Amr ibn ‘Ash. Menurut kaum khawarij, ketiga orang tersebut menjadi penyebab perpecahan dikalangan umat Islam.
     Di antara tiga tokoh yang direncanakan tersebut hanya Ali ibn Abi Thalib berhasil dibunuh oleh Abd. Ar-Rahman ibn Muljam.Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun  40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Pada awalnya Hasan menolak karena ia menuntut balas atas kematian ayahnya, akan tetapi Qois ibnu Abbas melarang Hasan. Dan akhirnya Hasan di baiat oleh Qois ibnu Saad dan diikuti oleh masyarakat Iran. Ternyata pembaiatan Hasan tidak bisa menyatukan umat, karena polemik dengan Muawiyah belum selesai. Karena pihak Muawiyah semakin kuat, beberapa hari setelah pengangkatan Hasan, Muawiyah mengirim tentara untuk menyerang kota Irak. Hal ini diketahui oleh Hasan, maka dikirimlah Qois ibnu Saad untuk melawan pasukan Muawiyah.
     Demi menghindari pertumpahan darah yang lebih besar dikalangan umat islam, maka Hasan ibnu Ali bersedia mengundurkan diri dengan beberapa syarat kepada Muawiyah[3], diantaranya :
1.      Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak.
2.      Agar pajak tanah negeri Ahwaz diberikan kepada Hasan setiap tahun.
3.      Muawiyah membayar kepada saudaranya yaitu Husain sebanyak 2 juta dirham.
4.      Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan penduduk Irak.
5.      Pemberian kepada bani Hasyim haruslah lebih banyak daripada bani Abdu Syam.
6.      Jabatan khalifah setelah Muawiyah harus diputuskan berdasarkan musyawarah diantara kaum muslimin.
Dengan demikian, Muawiyah menjadi penguasa yang sah di seluruh wilayah kedaulatan pemerintahan Islam. Ini terjadi pada tanggal 25 Robiul Tsani 41 H. Muawiyah sampai di kuffah untuk mengambil baiat dari kaum muslimin yang disaksikan oleh Hasan dan Husain. Peristiwa ini disebut dengan `Aam al-Jama`ah yang artinya tahun persatuan.
B.       Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
“Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras”. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun.
Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Byzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang diangkat oleh Allah.
Dinasti ini berkuasa selama kurang lebih 91 tahun dengan 14 orang khalifah[4]:
1.      Muawiyah bin Abu Sofyan                 661 s.d. 680
2.      Yazid bin Muawiyah                          680 s.d. 683
3.      Muawiyah bin Yazid                          683 s.d. 684
4.      Marwan bin Hakam                            684 s.d. 685
5.      Abdul Malik bin Marwan                   685 s.d. 705
6.      Walid I bin Abdul Malik                    705 s.d. 715
7.      Sulaiman bin Abdul Malik                  715 s.d. 717
8.      Umar bin Abdul Aziz                                     717 s.d. 720
9.      Yazid bin Abdul Malik                       720 s.d. 724
10.  Hisyam bin Abdul Malik                    724 s.d. 743
11.  Walid II bin Yazid II                          743 s.d. 744
12.  Yazid III                                             744 s.d. 745
13.  Ibrahim bin Walid II                           745 s.d. 747
14.  Marwan II bin Muhammad II             747 s.d. 750
Di antara 14 khalifah Dinasti Umayah tersebut hanya lima orang khalifah yang menduduki jabatan dalam waktu yang cukup panjang dan memberikan pengaruh bagi perkembangan islam, yaitu Muawiyah bin Abu Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan hasyim bin Abdul Malik.
C.     Kebijakan Dinasti Bani Umayyah
Banyak terjadi kebijaksanaan yang dilakukan pada masa ini, diantaranya yaitu:
1.      Pemisahan kekuasaan
Pemisahan kekuasaan terjadi antara kekuasaan agama, dengan kekuasaan politik. Sebelumnya pada masa Khalifah Rasyidin belum terjadi pemisahan antara kekuasaan politik dan kekuasaan agama. Pemisahan kekuasaan yang dilakukan oleh Muawiyah ini dikarenakan Muawiyah sebagai penguasa pertama Negara ini bukanlah orang yang ahli dalam bidang keagamaan, sehingga masalah keagamaan tersebut diserahkan kepada ‘Ulama.[5]
2.      Pembagian Wilayah
Dalam hal pembagian wilayah, pada masa pemerintahan yang di pimpin oleh Muawiyah terdapat sepuluh provinsi, seperti: Syiria dan Palestina, Kuffah dan Irak, Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd,dan Yamamah, Armenia, Hijaz, Karman dan India, Egypt  Afrikiyyah (Afrika utara), Yaman dan Arab Selatan, Andalusia.
3.      Bidang Administrasi pemerintahan.
Organisasi tata usaha negara terpecah kedalam bentuk dewan. Departemen pajak dinamakan dengan Dewan al Kharaj, departemen pos dinamakan dengan Dewan Rasail, departemen yang menangani berbagai kepentingan umum dinamakan dengan Dewan Musghilat, departemen dokumen negara dinamakan dengan Dewan al Khatim.
4.      Organisasi keuangan.
Masih terpusat pada baitulmaal yang asetnya diperoleh dari pajak tanah, perorangan bagi nonmuslim. Percetakan uang dilakukan pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan.
5.      Organisasi ketentaraan.
Umumnya orang arab atau keturunan arab yang boleh menjadi tentara.

D.    Pola pendidikan pada Dinasti Bani Umayyah
Adapun bentuk pendidikan pada masa dinasti Umayyah diantaranya:
1.      Pendidikan istana, pendidikan ini tidak hanya pengajaran tingkat rendah, tetapi lanjut pada pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqah, masjid dan madrasah. Guru istanadinamakan dengan Muaddib.[6]Tujuan pendidikan istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahuan bahkan Muaddibharus mendidik kecerdasan, hati dan jasmani anak sebagai mana ungkapan Abdul Malik ibn Marwan sebagai berikut:
“Ajarkan kepada anak-anak itu berkata benarsebagaimana kau ajarkan Al-qur’an. Jauhkan anak-anak itu dari pergaulan orang-orang buruk budi, karena mereka amat jahat dan kurang adab. Jauhkan anak-anak itu dari pemalu karna pemalu itu merusakkan mereka. Gunting rambut mereka supaya tebal kuduknya. Beri makan mereka dengan daging supaya kuat tubuhnya. Ajarkan syair kepada mereka supaya mereka menjadi orang besar dan berani. Suruh mereka menyikat gigi dan minum air dengan menghirup perlahan-lahan bukan dengan bersuara.kalau engkau hendak mengajarkan adab kepada mereka hendaklah dengan tertutup tiada diketahui oleh seorangpun”

Adapun yang diajarkan di dalam istana adalah:
a.       Al-qur`an( kitabullah)
b.      Hadits- hadits yang termulia
c.       Syair- Syair yang terhormat
d.      Riwayat hukama
e.       Menulis, membaca, dan lain-lain

2.      Nasihat pembesar kepada Muaddib. Sebagaimana pembesar Hisyam ibnu Abdul Malik kepada guru anaknya Sulaiman al-Kalbi :
“Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Aku serahkan kepada engkau untuk memberi adab kepadanya. Maka, tugas engkau adalah bertaqwa kepada Allah dan menunaikan amanah. Wasiatku yang pertama kepada engkau supaya engkau ajarkan kepadanya kitabullah. Kemudian engkau riwayatkan kepadanya syair-syair yang terbaik.sesudah itu engkau ajarkan riwayat kaum arab dan syair mereka yang baik. Perlihatkan kepadanya sebagian yang halal dan yang haram serta pidato-pidato dan riwayat peperangan”,

3.      Perpustakaan, Al Hakam ibnu Nashir (350 H / 961 M) mendirikan perpustakaan yang besar di Qurtubah (Cordova).

4.      Bamaristan (rumah sakit tempat berobat dan merawat orang serta tempat studi kedokteran).

E.     Praktik Keadilan pada Dinasti Bani Umayyah

Pada masa Dinasti Umayah, al-qadha dikenal dengan al-nizham al-qadhaaiy (organisasi kehakiman) , dimana kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari kekuasaan politik[7]. Ada dua ciri khas bentuk peradilan pada masa Bani Umayah, yaitu:
1.      Hakim memutuskan perkara menurut hasil Ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal yang tidak ada nash atau ijma’. Ketika itu Madzhab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi keputusan-keputusan hakim. Pada waktu itu hakim hanya berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunah.
2.      Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Hakim memiliki hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa. Keputusan mereka tidak hanya berlaku pada rakyat biasa, tetapi juga penguasa-penguasa sendiri. Dalam hal itu, Khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakim yang menyeleweng dari garis yang ditentukan.
Adapun instansi dan tugas kekuasaan kehakiman dimasa Bani Umayah dapat dikategorikan menjadi tiga badan, yaitu:
Pertama, al-qadhaa’ merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkara-perkasa yang berhubungan dengan agama. Di samping itu, badan ini juga mengatur institusi wakaf, harta anak yatim, dan orang yang cacat mental.
Kedua, al-hisbah merupakan tugas al-muhtasib (kepala hisbah) dalam menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana Yng memerlukan tindakan cepat.
Ketiga, al-Nadhar fi al-Mazhalim. Merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah banding dari mahkamah dibawahnya (al-qadha dan al-hisbah). Lembaga ini juga dapat mengadili para hakim dan pembesar negara yang berbuat salah.
Pada pengadilan kategori ketiga ini dalam melakukan sidangnya langsung dibawah pimpinan khalifah. . Dalam menjalankan tugasnya ketua mahkamah mazhalim ini dibantu oleh lima orang pejabat lainnya, yaitu:
1.      Pembela. Kelompok ini dipilih dari orang-orang yang mampu mengalahkan pihak terdakwa yang menggunakan kekerasan atau melarikan diri dari pengejaran pengadilan.
2.      Hakim. Hakim yang berprofesi sebagai penasehat bagi kepala mahkamah al-mazhalim, sehingga dengan berbagai cara, apa yang menjadi hak pihak yang teraniyaya dapat dikembalikan. Kepada seluruh yang hadir dapat dijelaskan tentang kasus yang terjadi dengan sesungguhnya. Kejayaan Dinasti Umayah, termasuk dalam hal peradilan adalah ketika khalifahnya dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz.
Wewenang seorang hakim hanyalah memutuskan hukum suatu perkara, namun yang melaksanakan hasil putusan tersebut adalah khalifah atau gubernur atau orang yang diberikan perintah untuk melaksanakannya. Contoh: Hakim memutuskan hukuman terdakwa adalah qishash, sementara yang menjalankan hukum qishash tersebut adalah khalifah sendiri.

3.      Ahli fikih. Sebagai tempat para hakim mahkamah al-mashalim mengembalikan perkara syariah yang sulit menentukan hukumnya. Ada beberapa catatan pada peradilan dimasa Bani Umayyah yang menggambarkan perlunya ahli fikih, yaitu:
Pertama, Setiap kota memiliki ahli fikih baik  dari kalangan sahabat maupun tabi’in, yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dalam menginstimbatkan hukum, mereka inilah yang dijadikan qadhi untuk menyelesaikan perkara yang masuk. Mereka ahli ijtihad dan bukan taqlid. Kedua, Qadha dan fatwa dipandang sederajat. Fatwa dalam periode ini sama dengan qadha; yaitu fatwa qadhidipandang putusan. Fatwa yang dikeluarkan qadhimenjadi hukum. Ketiga, putusan seorang qadhi tidak bisa dibatalkan oleh putusan qadhi yang lain. Karena ijtihad tidak bisa membatalkan yang lain.
4.      Sekertaris. Sekertaris yang bertugas mencatat perkara yang diperselisihkan dan mencatat ketetapan apa yang menjadi hak dan kewajiban pihak-pihak yang berselisih.
5.      Saksi. Saksi yang bertugas memberikan kesaksian terhadap ketetapan hukum yang disampaikan oleh hakim yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Ulama mencatat bahwa  orang yang pertama menggagas dan melaksanakan keberadaan wilayah mazhalim dan hisbah adalah khalifah Abdul Malik bin Marwan dan kemudian disempurnakan oleh Umar bin Abdul Aziz. Suatu perkara yang diselesaikan melalui mahkamah mazhalim ini dinyatakan tidak sah, apabila salah satu unsur sidang diatas tidak hadir.

F.      Kemunduran Dinasti Bani Umayyah
      Dinasti Bani Umayyah mengalami masa kemunduran, ditandai dengan melemahnya sistem politik dan kekuasaan karena banyak persoalan yang dihadapi para penguasa dinasti ini. Antaranya adalah masalah politik, ekonomi, dan sebagainya.
Seperti diketahui bahwa setelah Khalifah Hisyam bin Abdul Malik, para Khalifah Bani Umayyah tidak ada yang dapat diandalkan untuk mengendalikan pemerintahan dan keamanan dengan baik, selain itu mereka tidak dapat mengatasi pemberontakan di dalam negeri secara tuntas. Bahkan mereka tidak mampu lagi menjaga keutuhan dan persatuan di kalangan keluarga Bani Umayyah. Sehingga sering terjadi pertikaian di dalam rumah tangga istana. Penyebabnya adalah perebutan kekuasaan. Siapa yang akan menggantikan kedudukan khalifah dan seterusnya.
Adapun sebab-sebab Kemunduran Daulah Bani Umayyah
Kemunduran Bani Umayyah disebabkan oleh beberapa faktor, yakni:
1.      Ketidakpuasan sebagian besar orang non Arab yang memeluk Islam, terutama di Irak dan propinsi” timur. Mereka mendapat sebutan “mawali” atau “klien”, karena pada prakteknya mereka harus mengikatkan diri dengan menjadi klien dari kabilah-kabilah Arab. Hal tersebut bukan dari ajaran Islam, status tersebut menggambarkan keangkuhan orang-orang Arab. Mereka orang non-Arab derajatnya dianggap lebih rendah, misalkan ada tunjangan dari negara maka tunjangan mereka harus lebih sedikit dari orang Arab.
2.      Meningkatnya perpecahan diantara kabilah-kabilah Arab. Perpecahan terjadi antara kabilah selatan atau Yunani dengan Kabilah Utara. Kabilah selatan atau Yunani adalah sebutan bagi Kabilah yang berkaitan dengan Kabilah Kalb dan juga mereka pernah berdiam di Yunani. Sedangkan kabilah utara adalah sebutan bagi kabilah Qays. Perpecahan antara kedua kabilah terjadi karena tumbuhnya pengaruh politis dikedua kabilah tersebut.
3.      Kelalaian kholifah dalam urusan administratif dan tidak adanya perhatian terhadap tugas-tugas Negara membuat Bani Umayah sangat tidak disukai. Para pejabatnya banyak yang korupsi, banyak yang mementingkan diri sediri dan akibatnya pemerintahan menjadi lamban dan tidak efisien. Persaingan antar suku yang sudah lama, tidak semakin membaik tetapi malah semakin buruk banyak penentangan dari kaum Syiah yang tidak melupakan tragedi Karbala. Ketidakacuan serta perlakuan kejam terhadap keluarga Nabi, kutukan terhadap khutbah-khutbah dan propaganda anti Bani Ali memeperkuat Bani Umayyah. Kaum Syiah memperoleh simpati rakyat karena kecintaan mereka yang sepenuh hati terhadap keturunan Nabi.
4.      Muawiyah telah mengesampingkan prinsip Replublikanisme diganti dengan monarchi turun temurun. Prinsip Islam bahwa Kepala Negara harus dipilih oleh rakyat tidak dijalankan dengan demikin Bani Umayah kehilangan dukungan penuh dan kerjasama dari rakyat.
5.      Kekecewaan sejumlah besar orang yang prihatin akan keadaan keagamaan. Golongan ini mengaku ingin mencari keadilan bagi kaum mawali,yang mana konsep mawali tidak terdapat didalam Islam.
BAB III
PENUTUPAN
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan–penjelasan yang telah disebutkan, maka dapat kita ambil beberapa kesimpulan. Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri). Setelah wafatnya Utsman bin Afan maka masyarakat Madinah mengangkat sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang baru. Dan masyrakat melakukan sumpah setia ( bai’at ) terhadap Ali pada tanggal 17 Juni 656 M / 18 Djulhijah 35 H.
Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M).
Sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah diadopsi dari kerangka pemerintahan Persia dan Bizantium, dimana ia menghapus sistem tradisional yang cenderung pada kesukuan. Pemilihan khalifah dilakukan dengan sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai oleh Umayyah ketika menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada tahun 679 M.
Pada masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti ini mencapai banyak kemajuan. Dintaranya adalah: kekuasaan territorial yang mencapai wilayah Afrika Utara, India, dan benua Eropa, pemisahan kekuasaan, pembagian wilayah kedalam 10 provinsi, kemajuan bidang administrasi pemerintahan dengan pembentukan dewan-dewan, organisasi keuangan dan percetakan uang, kemajuan militer yang terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut, organisasi kehakiman, bidang sosial dan budaya, bidang seni dan sastra, bidang seni rupa, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
B.     Saran
Demikianlah isi dari makalah kami, yang menurut kami  telah kami susun secara sistematis agar pembaca mudah untuk memahaminya. Berbicara mengenai sejarah, maka sejarah merupakan ilmu yang tidak akan pernah ada habisnya. Ingatlah, orang yang cerdas adalah orang yang belajar dari sejarah.a

Koto, Alaiddin. 2011. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: Rajawali
Nizar, Samsul. 20011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Prenada Group


[1]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2011), hal. 53
[2] Ibid, hal. 54
[3] Ibid, hal. 55
[4] Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: rajawali, 2011), hal. 77
[5] Samsul Nizar.Op,cit, hal. 58
[6]  Ibid, hal. 61
[7] Alaiddin Koto. op,cit, hal.79

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MAKALAH SEJARAH BANI UMAYYAH"

Post a Comment

/* script Youtube Responsive */