Metode Penafsiran al-Qur’an Muqarran dan Maudhu’i





A.    Pendahuluan
Al-Qur’an turun tidak dalam suatu ruang dan waktu yang hampa nilai, melainkan di dalam masyarakat yang sarat dengan berbagai nilai budaya dan religius. Sebagai kitab suci, al-Qur’an mampu menghadapi masyarakat dengan kebudayaan dan peradaban yang terus berkembang dan maju. Akan tetapi, perlu adanya penafsiran agar apa yang dimaksud dalam al-Qur’an bisa dipahami.
Kajian tafsir al-Qur’an sangat dibutuhkan guna mengetahui maksud dari teks-teks yang terkandung dalam al-Qur’an. Selian itu, guna mengetahui maksud Allah yang terdapat dalam semua perintah dan larangan, memahami petunjuk Allah di bidang akidah, ibadah, dan akhlak dengan harapan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam menafsirkan ayat, teradapat beberapa metode yang bisa digunakan, yaitu tafsir tahlili (metode tahlili), tafsir Ijmali (metode global), tafsir Muqarran (metode komparatif), dan tafsir Maudhu’i (metode tematis). 
Akan tetapi, penulis hanya akan memaparkan penafsiran al-Qur’an menggunakan metode Muqarran dan Maudhu’i. Sebab, kedua metode ini dianggap sangat perlu dijelajah kembali. Terlebih, pada era modern seperti ini.
B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana sejarah kelahiran Tafsir Muqarran dan Maudhu’i?
b.      Tafsir Muqarran:
a.       Apa pengertian Tafsir Muqarran?
b.      Bagaimana metode yang digunakan dalam Tafsir Muqarran?
c.       Bagaimana kelebihan dan kekurangan dari Tafsir Muqarran?
c.       Tafsir Maudhu’i:
a.       Apa pengertian Tafsir Maudhu’i?
b.      Bagaimana metode yang digunakan Tafsir Maudhu’i?
c.       Bagaimana kelebihan dan  kekurangan dari Tafsir Maudhu’i?
C.    Pembahasan
a.      Sejarah Kelahiran Tafsir Muqarran dan Tafsir Maudhu’i
Sejak masa Rasulullah, cara penafsiran dilakukan melalui dua cara, yaitu berdasarkan wahyu dan ijtihad atau ra’yi. 
Pada masa sahabat, dalam memahami teks al-Qur’an tidak hanya berdasarkan ayat al-Qur’an, akan tetapi juga melalui riwayat dari Nabi dan Ijtihad para sahabat. Adapun sahabat-sahabat yang terkemuka dalam bidang tafsir[1], yaitu:

1.      Abu bakar Ash Shiddiq
2.      Umar al-Faruq
3.      Ustman Dzun Nurain
4.      Ali bin Abi Thalib
5.      Abdullah ibn Mas’ud
6.      Abdullah ibn Abbas
7.      Ubay ibn Ka’ab
8.      Zaid ibn Tsabit
9.      Abu Musa al-Asy’ary
10.  Abdullah ibn Zubair
Kemudian, pada abad-abad selanjutnya, usaha menafsirkan al-Qur’an berdasarkan Ra’yi atau nalar mulai berkembang sesuai dengan kemajuan manusia. Sebab, pada masa kemajuan manusia terdapat permasalahan-permasalahan yang jawabannya tidak tersedia secara eksplisit dalam al-Qur’an.   
Umumnya, pada masa Nabi dan sahabat merupakan ahli bahasa Arab, mengetahui secara baik latar belakang turun ayat atau pun mengalami secara langsung kondisi dan situasi umat ketika ayat-ayat al-Qur’an turun. Sehingga, mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat. Oleh karena itu, mereka tidak membutuhkan penjelasan secara rinci, tetapi hanya cukup dengan isyarat dan penjelasan global. Itulah yang melatarbelakangi lahirnya penafsiran secara global.
Periode berikutnya, umat islam mulai menggemuk, yaitu banyak orang non-Arab masuk islam. Kondisi ini membawa dampak positif bagi perkembangan pemikiran islam yang ditandai dengan adanya peradaban dan kebudayaan non islam masuk ke dalam khazanah intelektual islam. Akibatnya, kehidupan umat islam pun terpengaruh. Untuk mengantisipasi pengaruh tersebut, para penafsir penyajikan penafsiran-penafsiran ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan perkembangan zaman dan kehidupan umat yang beragam. Kondisi ini merupakan salah satu pendorong lahirnya metode tafsir analitis (tahlili). Umat islam merasa terayomi dan nyaman. Hingga akhirnya, muncul banyak ahli tafsir yang mengikuti metode tersebut. Bahkan, lebih pesat dalam dua bentuk penafsiran. Diantaranya, al-Ma’tsur dan Ra’yi dengan berbagai corak yang dihasilkan, seperti fiqh, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi ijtima’idan lain-lain.
Karangan-karangan kitab tafsir menggunakan kedua metode tersebut ada berbagai corak. Umat islam pun ingin mengetahui informasi lebih jauh terkait dengan kondisi dan keahlian para pakar tafsir. Selain itu, umat islam juga ingin mengetahui pemahaman-pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang terlihat mirip. Padahal, penafsiran tersebut berbeda. Demikian pula terdapat hadist-hadist yang secara lahiriyah bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun pada hakekatnya antara al-Qur’an dan hadis berasal dari sumber yang sama, yakni Allah. 
Melihat keadaan tersebut, para ulama melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an atau pun hadis nabi. Kemudian, lahirlah tafsir dengan menggunakan metode perbandingan (Muqarran). Seperti tafsir yang diterapkan oleh al-Iskafi dalam kitab Darrut al-Tanzil Ghurrat al-Ta’wil, oleh al-Karmani dalam kitab al-Burhan fi Tajih Mutasyabah al-Qur’an, dan lain sebagainya.
Memasuki dunia modern, permasalahan yang dihadapi jauh berbeda dengan masa dahulu. Permasalahan tersebut dangat terasa di tengah kehidupan masyarakat. Seperti mobilitas yang tinggi, perubahan situasi yang sangat cepat, dan lain-lain. Akibatnya, masyarakat secara individu maupun kelompok, berbangsa dan bernegara, seakan-akan tidak mempunyai waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir. Padahal, dalam memahami atau pun mendapatkan petunjuk al-Qur’an diharuskan untuk membaca. Untuk menaggulangi hal tersebut, para ulama tafsir modern menawarkan tafsir al-Qur’an dengan metode baru yang lebih spesifik dan jelas, yang disebut dengan metode tematik (Maudhu’i).
Dengan munculnya metode baru ini, diharapkan tidak menghabiskan waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir yang masih umum atau besar, tetapi cukup dengan tafsir tematik. Sebab, pembahasannya lebih spesifik, sehingga masyarakat mudah untuk memahami dan mencari pembahasan mengenai permasalahan-permasalahan pada kitab-kitab tafsir tematik. 
b.      Tafsir Muqarran
a.       Pengertian Tafsir Muqarran
Metode tafsir Muqarran sangat menekankan kajian pada aspek perbandingan (komparasi) tafsir al-Qur’an. Penafsiran yang menggunakan metode ini, pertama menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, kemudian mengkajinya dan meneliti penafsiran sejumlah penafsir mengenai ayat-ayat tersebut dalam karya mereka. [2]Melalui cara ini, penafsir dapat mengetahui posisi dan kecenderungan para penafsir sebelumnya yang dimaksudkan dalam objek kajiannya.
Metode Muqarran juga digunakan dalam pembahasan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan redaksi namun berbicara tentang topik yang berbeda. Atau sebaliknya, topik yang sama dengan redaksi yang berbeda.
b.      Metode yang digunakan dalam Tafsir Muqarran
Corak tafsir Muqarran mempunyai ruang lingkup dan wilayah kajian yang luas. Objek kajian tafsir Muqarran dapat dikelompokkan menjadi tiga,[3] yaitu:
1.      Perbandingan ayat satu dengan ayat lain dalam al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an ditemukan banyak ayat yang memiliki kemiripan redaksi atau lafal, tersebar di berbagai surah. Kemiripan itu dapat terjadi dalam berbagai bentuk yang menyebabkan adanya nuansa makna tertentu, misalnya perbedaan dalam susunan kalimat.
Contoh:
قل إن هدى الله هو الهدى
katakanlah: sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk.” (al-Baqarah: 120)
قل إن الهدى هدى الله
“katakanlah: sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah.” (al-An’am: 71)
2.      Perbandingan ayat al-Qur’an dengan hadis
Dalam melakukan perbandingan ayat al-Qur’an dengan hadis yang terkesan berbeda atau bertentangan ini, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menentukan nilai hadis yang akan dibandingkan dengan ayat al-Qur’an. Hadis tersebut haruslah hadis yang sahih. Setelah itu, musafir melakukan analisis terhadap latar belakang terjadinya perbedaan atau pertentangan antara keduanya.
Contoh: perbedaan antara ayat al-Qur’an surat Nahl: 32 dengan hadis riwayat Tirmidzi.
ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (al-nahl: 32)
لن يدخل أحدكم عمله الجنة
“tidak akan masuk seorang pun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya.” (H. R. Tirmidzi)
Antara ayat al-Qur’an dan hadis di atas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkam pertentangan itu, al-Zyarkashi mengajukan dua cara. Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadis, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang akan dimasukinya. Posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadis lain, yaitu
إن أهل الجنة أذا دخلوها نزلوا فيها بفضل عملهم (رواه الترمذى)
“sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannnya.” (H.r Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadis tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadis berarti sebab.
3.      Perbandingan penafsiran musafir satu dengan musafir lain
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tertentu ditemukan adanya perbedaan antara ulama satu dengan ulama lain. Perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan hasil ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan, dan sudut pandang masing-masing. [4]
Diantara kitab-kitab yang menggunakan metode Muqarran adalah Durrah al-Tanzil wa Ghurrah al-Ta’wil karya al-Iskafi yang terbatas pada perbandingan ayat dengan ayat, dan al-Jami’ li Ahkan al-Qur’an karya al-Qhurtubi yang membandingkan penafsiran para penafsir.[5]
c.       Kelebihan dan kekurangan Tafsir Muqarran
Diantara kelebihan Tafsir Muqarran antara lain sebagai berikut:
a.       Memberikan wawasan yang relatif lebih luas
b.      Sikap toleran semakin terbuka
c.       Membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur’an tidak kontradiktif. Melainkan saling berkaitan antara ayat atau surah satu dengan ayat atau surah yang lain. Begitu pun antara al-Qur’an dan hadis Nabi.
d.      Dapat mengungkapkan sumber-sumber perbedaan di kalangan mufassir.
e.       Dapat mengungkapkan kekeliruan mufassir dan mencari pandangan yang paling mendekati kebenaran. Selain itu, para mufassir dapat melakukan kompromi dari pendapat-pendapat yang bertentangan atau men-tarjih salah satu pendapat dianggap paling benar. Sehingga, para mufassir lebih berhati-hati.
Selain kelebihan, Tafsir Muqarran juga mempunyai kekurangan. Diantara kekurangan Tafsir Muqarran adalah:
a.       Penafsiran tidak diberikan kepada pemula, seperti mereka yang belajar tingkat menengah ke bawah. Sebab, pembahasan yang dikemukakan terlalu ekstrim dan luas.  
b.      Tafsir Muqarran tidak dapat menjawab problematika sosial, karena metode tafsir ini lebih menekankan perbandingan daripada pemecahan masalah.
c.       Tafsir Muqarran banyak menelusuri tafsiran-tafsiran baru atau pengulangan pendapat para mufassir. Sebab, mufassir tidak kreatif. Sehingga, mufassir hanya sekedar mengutip tanpa mengaitkan dengan kondisi yang dihadapi saat itu.
c.       Tafsir Maudhu’i
a.       Pengertian Tafsir Maudhu’i
Tafsir Maudhu’i merupakan satu sisi aspek studi al-Qur’an penelitian.[6]Tafsir Maudhu’i yaitu pembahasan yang mendalam pada satu topik tertentu dari beberapa topik dalam al-Qur’an. Pada umumnya, pembahasan yang dibahas yaitu suatu topik tertentu dilihat dari berbagai segi mendalam, meliputi bagian-bagian permasalahan. Kadang-kadang tidak ditentukan pada kitab tafsir pada umumnya. Dan biasanya, tafsir Maudhu’i dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu.[7] 
Metode tafsir Maudhu’i juga disebut sebagai metode tematik, karena pembahasannya berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam al-Qur’an.
Menurut Muhammad Baqir Shadr, metode Maudhu’i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang sama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menerbitkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat yang lain, kemudian menginstimbatkan hukum-hukum.[8]
b.      Metode yang digunakan pada Tafsir Maudhu’i
Tafsir Maudhu’i mempunyai dua bentuk.[9] Yaitu sebagai berikut:
a.       Tafsir yang membahas satu surah al-Qur’an secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksud secara umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara ayat satu dengan ayat lain, dan atau antara pokok masalah satu dengan pokok masalah lain.
Contoh: surat saba’
Di dalam surat tersebut diawali dengan mengemukakan pujian kepada Allah dan membawa salah satu prinsip pendidikan yang berkaitan dengan soal pemilikan, cara penggunaan milik yang bijaksana, dan cara pengaturan yang seksama.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَلَهُ الْحَمْدُ فِي الآخِرَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ * يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ الرَّحِيمُ الْغَفُورُ

Selanjutnya, surat ini juga mengandung pengakuan akan adanya ilmu yang mencakup segala sesuatu (العلم الشامل) pengakuan akan kekuasaan yang efektif dan kehendak yang bijaksana.[10]
b.      Tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan, di bawah satu bahasan tema tertentu.
Contoh: surat al-A’raf: 23 dengan aurat al-Baqarah: 37.

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ(23:A'raf-al)
“Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah mendzalimi diri kami sendiri. Jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi Rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.”

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (37:al-baqarah)
“Kemudian, Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya. Lalu, dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah maha menerima taubat, Maha Penyanyang.”
Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa pembahasan atau tema yang dibahas sama, yaitu tentang pengampunan Allah.
Menurut al-Farmawi ada tujuh langkah yang harus dilakukan ketika ingin menggunakan metode Maudhu’i. [11] Langkah-langkah tersebut adalah:
1.      Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’an yang akan dikaji secara Maudhu’i.
2.      Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah diterapkan, ayat Makiyah dan Madaniyah.
3.      Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya atau sabab al-Nuzul.
4.      Mengetahui hubungan ayat-ayat tersebut dalam masing-masing surat.
5.      Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang pas, utuh, sempurna, dan sistematis.
6.      Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadis bila dipandang perlu, sehingga pembahasan semakin sempurna dan jelas.
7.      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian sempurna, mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khash, antara yang mutlaq dan yang muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
Contoh Tafsir Mawdhu’iy:  Ummiyah bangsa Arab menurut al-Qur’an al-Karim.
Istilah Ummiy dalam al-qur’an disebutkan sebanyak enam kali.[12] Di dalam ayat-ayat berikut:
1.      (yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummiy... (al-A’raf (7): 157)
2.      Maka berikanlah kamu kepada Allah dan Rasulnya, Nabi yang ummiy..(al-A’raf (7): 158)
3.      Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummiy: apakah kamu (mau) masuk islam.. (Ali Imran (3): 20)
4.      Yang demikian itu lantaran mereka berkata: Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummiy (Ali Imran (3): 75)
5.      Dialah yang mengutus kepada kaum yang ummiy seorang Rasul di antara mereka (al-Jumu’ah (62): 2)
6.      Dan diantara mereka ada yang ummiy, tidak mengetahui al-Kitab (taurat) kecuali dongengan bohong belaka (al-Baqarah (2): 78)
Yang dimaksud ummiy dalam ayat nomer 1 dan 2 adalah Nabi Muhammad Saw. Ibn Abbas pernah berkata bahwa Nabi kalian, Muhammad Saw, merupakan Nabi yang ummiy, tidak menulis, dan tidak membaca serta tidak mengenal ilmu berhitung.
Sedangkan ayat nomer 3, 4, dan 5, yang dimaksud ummiy yaitu bangsa Arab. Sebab, mayoritas bangsa Arab adalah ummiy, dalam artian tidak pandai tulis baca. Berbeda lagi dengan ayat nomer 6, yang dimaksud ummiy yaitu golongan tertentu dari kaum Yahudi, yang tidak pandai baca tulis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa istilah “ummiy” dalam al-Qur’an ada kalanya ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw, suku bangsa Arab, atau golongan tertentu dari kaum Yahudi, yang semuanya berarti “orang yang tidak pandai baca tulis.”
Secara terminologi, ummiy berarti orang yang tidak pandai menulis. Suku bangsa arab dikatakan sebgai al-ummiyyun karena tulisan pada saat itu sangat langka, bahkan tidak ada sama sekali. Sementara ummiy yang dimaksud dalam al-Qur’an sama-sama berarti “tidak pandai baca tulis.” Namun, kenyataan menunjukkah bahwa di kalangan bagsa arab waktu itu telah ditemukan banyak tulisan yang jelas. Seperti, al-Kitabat al-‘Ammah.
Begitu pula pada zaman Jahiliyah dan awal islam, terdapat orang-orang tertentu yang belajar menulis dan berhasil menjadi guru bagi orang lain. Misalnya, Umar Ibn Zawarah, Ghailan Ibn Salmah, Ibn Mu’tab, Yusuf Ibn Hakam al-Tsaqafy, al-Hajjaj Ibn Yusuf al-Tsaqafy dan Ubadah Ibn Shamit. Sebagian dari mereka ada pula yang mengusai berbagai bahasa asing.
Budaya menulis di kalangan bangsa arab waktu itu telah ada dan tersebar dalam skala yang cukup besar. Tetapi, skala tersebut belum kuat untuk menghapus predikat Ummiy  pada diri mereka. Sehingga, Islam berjuang menghapus predikat ummiy dari kamus budaya mereka.
Dr Nashir mengemukakan bahwa pengertian ummiy bangsa arab yaitu akidah watsaniyah yang mereka jadikan agama. Jadi, istilah Ummiyah tidak ada hubungannnya dengan ilmu dan kebodohan.
Dr. Al-Asad mengemukakan sifat Ummiy dalam surat al-Baqarah: 78 bahwa sifat Ummiy golongan Ahl al-Kitab, demikian al-Ashad, bukan berarti bodoh dalam hal tulis baca; sebab, al-Qur’an memberitakan bahwa mereka menulis al-Qur’an dengan tangan mereka sendiri. Sedangkan yang dimaksud ummiy dalam ayat ini adalah bodoh dalam hal agama, menolak serta tidak membenarkannya.  
 Ibn Abbas berpendapat, ketika ia menafsirkan ayat ini (al-Baqarah: 78) yang diriwayatkan oleh al-Thabary, bahwa yang dimaksud oelh ayat (وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ) adalah kata ummiy yang tidak mau mengimani Rasul yang diutus oleh Allah, tidak mau mengimani Kitab yang turun dari Allah, lalu mereka berkata kepada orang-orang bodoh; Inilah kitab dari Allah. Al-Qur’an telah memberitakan bahwa mereka itu telah menulis Kitab dengan tangan mereka dan menyebut mereka dengan sebutan ummiyyin karena mereka itu mendustakan dan kufur terhadap Kitab-kitab Allah dan Rasulnya.[13]
Al-Bukhari meriwayatkan dari hadist Ibn Umar, dari Nabi Saw, beliau bersabda[14]:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسب
Sesungguhnya kami adalah umat yang buta huruf. Kami tidak menulis dan tidak pula berhitung.”
 Yang dimaksud dalam Rasulullah dalam hadis tersebut adalah kadang dua puluh sembilan hari dan kadang tiga puluh hari. al-Ashad menyanggah hadis tersebut dengan alasan bahwa Nabi mengutarakan sabdanya ini berkenaan dengan masalah puasa, yaitu masalah melihat hilal. Hadis itu juga menunjukkan kepada bentuk tulisan penghitungan tertentu, yang belum pernah dikenal oleh suku arab, yaitu penghitungan menurut ilmu falak. Selain itu, hadis itu bukan berarti meniadakan tulisan dan hitungan secara mutlak, akan tetapi meniadakan tulisan dan hitungan dalam bentuk baku dan diikuti secara umum, seperti yang ada di kalangan umat lain yang telah memiliki penghitungan kalender.
Dapat disimpulkan bahwa Dr. Nashiruddin al-Asad ingin meniadakan sifat Ummiyyah dari bangsa arab sebelum dan awal islam. Kkeahlian menulis dan membaca sejak dulu telah tersebar luas di kalangan bangsa arab tersebut.
Kemudian, pendapat Dr. Nashiruddin al-Asad mendapat sanggahan pula dari Dr. Abd. Al-Hayy al-Farmawi dengan beberapa alasan. Diantaranya, pertama para ahli bahasa telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan istilah “al-Ummiy” adalah orang yang tidak pandai baca tulis. Kedua, menurut Ibn katsir, hadis Nabi Saw yang berbunyi: إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسب berarti kami tidak memerlukan tulisan dan hisab di dalam ibadah dan waktu-waktu kami.” Dengan demikian, jelas bahwa Nabi Saw tidak memperlihatkan sikap menoadakan atau menetapkan sifat Ummiyyah tersebut. Hadis ini, hanya untuk menunjukkan batas toleransi islam di bidang ibadah dan hukum-hukumnya. Ketiga, dua ayat tentang kaum Yahudi dapat dikompromikan atau pemaduan yang tidak bertentangan dengan arti masing-masing dari dua ayat tersebut. Jalan kompromi yang dimaksud yaitu:
Firman Allah (وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ) mensifatkan kaum awam Yahudi. Sedangkan ayat (لِّلَّذِيْنَ يَكْتُبُوْنَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيْهِمْ) mensifatkan para ulama mereka. Oleh sebab itu, al-Syiekh al-Maraghy menafsirkan ayat sesudahnya (فَوَيْلٌ لِّلَّذِيْنَ يَكْتُبُوْنَ الْكِتَابَ) sebagai berikut: celaka bagi para ulama Yahudi yang menulis kitab dengan tangan mereka, kemudian berkata kepada kaum awam: ini adalah Kitab dari Allah. Atas dasar ini, al-Ummiyyin di dalam suart tersebut tidak termasuk orang-orang yang menulis Kitab dengan tangan mereka.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pemberian sifat dan gelar ummiyyin kepada bangsa Arab tetap berlaku dalam arti tidak pandai baca tulis, tidak seorang pun mengingkarinya.[15]
c.       Kelebihan dan kekurangan Tafsir Maudhu’i
Diantara kelebihan metode Tafsir Maudhu’i yaitu:
a.       Menjawab tantangan zaman, yaitu mampu mengatasi perkembangan zaman yang selalu berubah. Dengan artian lain, yaitu titik tolak keberangkatan permasalahan berdasarkan kenyataan dalam masyarakat dan berakhir pada al-Qur’an sebagai pedoman atas semua jawaban.
b.      Praktis dan sistematis. Metode Tafsir Maudhu’i sangat cocok diterapkan dalam masyarakat modern dan dapat menghemat waktu.
c.       Dinamis, metode Tafsir Maudhu’i selalu dinamis dengan perkembangan zaman, dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, al-Qur’an selalu aktual dan update.
d.      Pembahasan yang utuh dan sempurna. Sehingga, tidak ada cerai berai antara pandangan al-Qur’an terhadap permasalahan.
Sedangkan kekurangan dari Tafsir Maudhu’i yaitu sebagai berikut:
a.       Memenggal ayat al-Qur’an. Misalnya, mengambil kasus dalam satu ayat atau lebih yang mengandung berbagai permsalahan. Diantaranya zakat, puasa, shalat, haji dan lain sebagainya. Menurut sebagian ulama’, cara seperti ini dipandang tidak sopan terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
b.      Membatasi pemahaman ayat. Adanya penetapan judul dalan penafsiran, maka akan membuat suatu permasalahan tersebut menjadi terbatas (sesuai dengan topik). Padahal, ayat-ayat al-Qur’an mempunyai keterkaitan.
D.    Penutup
Munculnya tafsir Muqarran karena adanya berbagai pendapat tentang penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan metode Ra’yi dan  Ma’tsur. Baik ayat-ayat al-Qur’an atau pun hadis. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diadakan perbandingan. Kemudian, muncullah metode tafsir Muqarran atau perbandinga. Sedangkan dalam era modern, banyak permasalahan yang berbeda dengan zaman dahulu. Permasalahan modern lebih luas, sehingga mengakibatkan masyarakat sibuk dengan kehidupan yang modern dan tidak mempunyai waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir. Melihat realita demikian, para ulama modern memunculkan tafsir yang sesuai dengan perkembangan dan permasalahan masyarakat pada era modern. Itulah yang menyebabkan kelahiran tafsir tematik atau Maudhu’i.
Metode tafsir Muqarran sangat menekankan kajian pada aspek perbandingan (komparasi) tafsir al-Qur’an. Objek kajian tafsir Muqarran dapat dikelompokkan menjadi tiga. Diantaranya yaitu penafsiran ayat satu dengan ayat lain dalam al-Qur’an, penafsiran ayat al-Qur’an dengan hadis, dan penafsiran musafir satu dengan musafir lain.
Sedangkan, tafsir Maudhu’i yaitu pembahasan yang mendalam pada satu topik tertentu dari beberapa topik dalam al-Qur’an. Langkah-langkah yang dilakukan ketika akan melakukan penafsiran dengan metode ini, yaitu Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’an yang akan dikaji secara Maudhu’i., Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah diterapkan, ayat Makiyah dan Madaniyah., Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya atau sabab al-Nuzul., Mengetahui hubungan ayat-ayat tersebut dalam masing-masing surat., Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang pas, utuh, sempurna, dan sistematis., Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadis bila dipandang perlu, sehingga pembahasan semakin sempurna dan jelas., Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian sempurna, mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khash, antara yang mutlaq dan yang muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.



[1] Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur’an atau Tafsir, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990), hal. 213.
[2] Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogayakarta: TERAS, 2005), hal. 46.
[3] Quraish Shihab dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), hal. 186.
[4] Ibid,. hal. 190
[5]  التفسير و المفسرون, محمد حسين الذهبى
[6]محمد حسين الذهبي, علم التفسير
[7] Siti Amanah, Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993), hal. 305.
[8] Muhammad Nor Ichwan, Memasuki Dunia Al-Qur’an, (Semarang: Lubuk Raya, 2001), hal. 266.
[9] Quraish Shihab dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), hal. 192.
[10] Op., cit. 36
[11] Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogayakarta: TERAS, 2005), hal. 47.
[12] Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy Suatu Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 78.
[13] Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy Suatu Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 83.
[14]Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, (Bandung: Jabal, 2008), hal. 209.
[15] Ibid,. hal. 86.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Metode Penafsiran al-Qur’an Muqarran dan Maudhu’i"

Post a Comment

/* script Youtube Responsive */