Makalah Pengaturan Tindak Pidana Santet dalam Konsep Rancangan Undang-undang BAB II



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Kriminalisasi Santet Sebagai Tindak Pidana
Santet dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “sihir/magic” diartikan sebagai:
1.      Perbuatan ajaib yang dilakukan dengan pesona dan kekuatan gaib (guna-guna, mantra dan sebagainya).
2.      Ilmu tentang cara pemakaian kekuatan gaib, ilmu gaib (teluh, tuju dan sebagainya).
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa “teluh” atau tenung adalah ilmu hitam untuk merugikan orang lain, di samping itu “tenung” juga dapat berarti “kepandaian dan sebagainya untuk mengetahui (meramalkan) sesuatu yang gaib (seperti meramal nasib)”
Permasalahan santet ini sebenarnya bila dilihat di masa lalu yaitu ketika zamannya kerajaan Majapahit. Walupun dalam sistemhukum perundang-undangan saat ini belum dicantumkan hanya dicantumkan dalam konsep RUU KUHP (Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Sebenarnya kalau melihat sistem hukum masa lalu yang pernah ada, yaitu sistem hukum yang digunakan pada masa Kerajaan Majapahit, di dalam Pasal 13 Peraturan Perundang-undangan Majapahit permasalahan yang berkaitan dengan tenung/santet dirumuskan sebagai delik.
Di zaman Majapahit, perbuatan tenung dipandang sebagai salah satu dari enam “tatayi” (kejahatan) berat diancam dengan pidana mati. Demikian pula di dalam beberapa sumber hukum adat di Indonesia. Misalnya dalam hukum adat Dayak “kanayatan”, dijumpai istilah “nyampokng nyawa” (yaitu, usaha membunuh orang lain dengan mistik/ guna-guna). “Nyampokng padi” (perbuatan secara mistik sebagai usaha untuk merusak hasil panen/padi di lading/sawah orang lain), dan “sarapo” (perbuatan meletakkan/menyimpan suatu barang ke dalam rumah orang lain secara tidak wajar, sehingga diartikan seolah-olah perbuatan “nyampokng”).[1]
Selain dari itu perbuatan yang bersifat mistik/gaib/metafisika sulit diterima dalam sistem hukum yang formal dan rasional.namun demikian, tidak berarti semua perbuatan yang berhubungan dengan masalah gaib tidak dapat diatur dalam sistem perundang-undangan yang formal dan rasional. Misalnya dalam KUHP yang saat ini berlaku dalam Pasal 545-547 ada ketentuan/larangan mengenai:
a.       Perbuatan (sebagai) pencarian untuk menyatakan oeruntungan/ nasib seseorang,untukmengadakan permalan atau penafsiran mimpi (Pasal 545).
b.      Menjual, menawarkan,menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual/dibagikan, jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib (Pasal 546).
c.       Saksi di persidangan memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti (Pasal 547).
Dari ketentuan di atas terlihat adanya hal-hal yang bersifat gaib/superanatural yaitu, peramalan nasib/mimpi dan jimat atau benda-benda sakti/ berkekuatan gaib. Jadi dalam hal ini hukum formal dapat atau mungkin saja mengatur hal-hal yang gaib/superanatural, sepanjang yang diatur bukan substansi gaibnya, tetapi perbuatan yang berhubungan dengan hal-hal gaib itu.
Permasalahan mengenai santet ini termasuk ruang lingkup maslah kebijakan /politik hukum pidana (criminal law/penal policy) yang sekaligus juga merupakan bagian dari masalah kebijakan penegakan hukum (law enforcement) dan kebijakan kriminil/kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy), dengan sendirinya bergantung kepada pembuat/ pengambil kebijakan untuk menentukan perlu atau tidaknya masalah persantetan ini dikriminalisasi/rekriminalisasi.
Salah satu pertimbangan meng-kriminalisasi-kan suatu perbuatan (khususnya yang berhubungan dengan masalah persantetan) ialah perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan praktik persantetan itu termasuk perbuatan yang dipandang sangat tercela/membahayakan/merugikan kehidupan bermasyarakat atau tidak.[2]
Di zaman Majapahit dan dalam lingkungan masyarakat adat hal ini merupakan sebuah delik. Bahkan seperti yang dikemukakan di atas mengenai santet/tenung di masa Majapahit merupakan kejahatan yang berat yang pantas diancam dengan pidana mati. Keadaan sekarang memang tidak sama dengan masa lalu. Sehingga alasan itulah yang menjadi pertimbangan untuk meng-kriminalisasi-kan permasalahan tindak pidana santet ini.
Dalam persoalan mengenai santet ini dalam politik kriminal, tidak perlu dikaitkan dengan masalah keyakinan/kepercayaan orang pada ada/tidaknya santet itu. Yang penting adalah, apakah praktik persantetan itu dalam kenyataannya ada atau tidak dan apakah perlu dicegah atau tidak dengan hukum pidana. Jadi, sama halnya dengan masalah peramalan nasib/mimpi dan jimat-jimat yang diatur di dalam KUHP yang telah diuraikan di atas sebelumnya.
B.     Perumusan Santet Sebagai Tindak Pidana dalam Konsep RUU KUHP di Indoenesia, KUHP Papua New Guinea dan Hukum Islam
1.      RUU KUHP Indonesia
Dalam upaya mengkriminalisasikan perbuatan yang berhubungan dengan persantetan, Konsep KUHP Baru hanya menitikberatkan perhatiannya terhadap pencegahan (prevensi) dilakukannya praktik santet oleh para juru/tukang santet. Yang akan dicegah/diberantas ialah profesi atau pekerjaan tukang santet yang memberikan bantuan kepada seseorang untuk menimbulkan kematian atau mencelakakan/menderitakan orang lain. Dengan perkataan lain, yang akan dikriminalisasikan ialah perbuatan melawan menawarkan/memberikan jasa dengan ilmu santet untuk membunuh atau mencelakakan/menderitakan orang lain.[3]
Penerapan Pasal 293 tentang penyantetan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menimbulkan berbagai tanggapan Pro dan Kontra. Ada sebagian yang menganggap bahwa kriminalisasi santet hanya dapat menimbulkan fitnah, hal ini dikarenakan belum ada bukti yang nyata untuk bisa memperkuat dan membuktikan sebuah kasus santet, namun bukan hal itu yang dimaksud apabila dilihat dari segi delik formilnya. Oleh sebab kesulitan pembuktian itulah maka Pasal 293 (dulu Pasal 292 RUU tahun 2004) menggunakan rumusan tindak pidana secara formil, yang bukan mempidana perbuatan santetnya melainkan mempidana perbuatan-perbuatan tertentu yang sesungguhnya merupakan perbuatan-perbuatan sebelum perbuatan itu benar-benar dilakukan.[4]
Pasal 293 RUU KUHP 2013 merumuskan:
(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental dan fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).

Rumusan tindak pidananya terdapat pada ayat (1), yang jika dirinci terdiri dari unsur-unsur berikut:
a.       Perbuatannya;
1.      Menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib;
2.      Memberitahukan harapan;
3.      Menawarkan jasa
4.      Memberikan bantuan jasa
b.      Objeknya;
Pada orang lain bahwa karena perbuatnnya dapat menimbulkan penyakit, kematian, dan penderitaan mental atau fisik seseorang.

Mungkin perumusan sementara di atas masih dirasakn kurang memuaskan, namun  yang jelas ingin dijaring dengan perumusan itu ialah praktik tukang santet/tenung yang menawarkan/memberikan jasa kepada orang lain untuk melakukan kejahatan, khususnya yang menimbulkan kematian/penderitaan. Dalam perumusan Pasal 293 Konsep di atas disejajarkan ke dalam delik-delik mengenai “penawaran bantuan untuk melakukan tindak pidana”.[5]Untuk jelasnya dikutipkan bunyi Pasal 291 RUU KUHP:
Setiap orang yang dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi keterangan, kesempatan, atau sarana untuk melakukan tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.
Jadi diadakannya perumusan Pasal 293 RUU KUHP sebenarnya dimaksudkan untuk memperluas jankauan Pasal 291 di ata kepada bentuk yang lebih khusus dan berdiri sendiri terlihat pula secara tersebar di dalam beberapa Pasal KUHP sekarang, antara lain:
a.       Pasal 333 (4) : member tempat untuk perampasan kemerdekaan yang melawan hukum.
b.      Pasal 349 : dokter/bidan yang melakukan atau membantu melakukan delik-delik abortus provokatus.
c.       Pasal 415 : menolong/membantu seorang pejabat yang menggelapkan uang atau surat berharga.
d.      Pasal 417 : menolong/ membantu seorang pejabat yang menggelapkan, menghancurkan, merusak atau membuat tidak dapat dipakai barang-barang bukti.

Dibandingkan dengan perumusan delik-delik pemberian bantuan yang sudah ada di dalam KUHP, memang perumusan delik di dalam Pasal 293 RUU KUHP dirasakan kurang tegas atau agak samar, dalam arti tidak begitu mudah ditangkap bahwa yang dimaksud yang dilarang ialah perbuatan menawarkan/memberikan bantuan jasa dengan ilmu santet/kekuatan magis untuk menimbulkan kematian atau penderitaan orang lain.
Dalam Pasal 293 ini pun mempunyai beberapa kelemahan diantaranya:
a.       Perumusan/pemberian jasa persantetan untuk tujuan-tujuan jahat lain yang tidak bermaksud menimbulkan kematian/penderitaan orang lain.
b.      Praktik persantetan atau perbuatan menyantet/menenung yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kekuatan magis atau oleh tukang santetnya itu sendiri, tanpa perminataan orang lain.
Mengenai perbuatan menyantet/menenung yang dilakukan oleh si pelaku itu sendiri, berdasarkan bentuk perumusan di dalam Pasal 13 Peraturan Perundang-undangan Majapahit sebagai berikut:[6]
Barang siapa menulis nama orang lain di atas kain orang mati atau di atas peti mati, atau di atas dodot yang berbentuk boneka atau barang siapa yang menanam boneka tepung yang bertuliskan nama di kuburan,menyangsangkannya di atas pohon, di tempat sangar, atau di jalan simpang, orang yang demikian itu sedang menjalankan tenung yang sangat berbahaya.
Barang siapa menuiskan nama orang lain di atas tulang, di atas tengkorak dengan sarang, darah atau trikatuka dan kemudidan merendamnya di  dalam air, atau menanmnya di tempat penyimksaan, perbuatan itu disebut menenung.

Apabila dilihat dari Pasal 13 Peraturan Perundang-undangan Majapahit, maka dapatlah diketahui unsur-unsur daripada tenung/menenung, unusr-unsur tersebut ialah:
1.      Unsur-unsur tenung :
a.       Menulis nama orang lain: di atas kain orang mati, di atas peti mati, di atas dodot yang berbentuk boneka;
b.      Menanam boneka tepung yang bertuliskan nama di kuburan; dan
c.       Menyangsangkan : di atas pohon, di tempat sangar atau di jalan simpang.
2.      Unsur-unsur menenung :
a.       Menuliskan nama orang : di atas tulang, di atas tengkorak;
b.      Nama itu ditulis dengan arang, darah dan trikatuka;
c.       Merendamnya di dalam air; dan
d.      Menanamnya di tempat penyiksaan.

2.      KUHP Papua New Guinea
Salah satu negara tetangga Indonesia memiliki Undang-undang Tindak Pidana Sihir sebagai lex specialis dari KUHP Negara trsebut. Negara tersebut adalah Papua Nugini atau Papua New Guinea. Di Papua Nugini, tindak pidana sihir terdapat pada Bab 274 tentang Undang-Undang Sihir Tahun 1971. Undang-undang tersebut memberikat pengertian perbuatan menyihir yang berarti setiap perbuatan (meliputi satu upacara tradisional atau upacara agama) itu dimaksudkan untuk bawakan, atau yang mengaku untuk dapat atau disesuaikan untuk bawakan, kekuatan dari ilmu sihir ke dalam aksi, atau untuk membuat mereka kemungkinan atau membawa mereka ke dalam akibat . Selain itu, di dalam undang undang tersebut juga memberikan pengertian tentang sihir (ilmu sihir) dan penyihir (tukang sihir).[7]
“tukang sihir ” seseorang berarti barang siapa yang melakukan tagihan hutang dengan menggunakan ilmu sihir atau (b)secara langsung atau secara tidak langsung berpura-pura untuk memiliki, menggenggam sendiri di luar pagar untuk mempunyai atau menyatakan untuk memiliki, kekuatan dari ilmu sihir;  “ilmu sihir ” meliputi (tanpa perubahan keadaan umum dari ekspresi itu) apa itu dikenal, dalam berbagai bahasa dan bagian dari negara, seperti guna-guna, sihir, keterpikatan, puri puri, mura mura dikana, vada, mea mea, sanguma atau malira, apakah atau tidak berhubungan dengan atau terkait ke hal-hal yang gaib.
Jenis jenis pidana di dalam undang undang Sihir tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Ilmu sihir umumnya :
(1)   bagian Ini tidak menerapkan jika dimana ilmu sihir yang dilibatkan adalah ilmu sihir tidak bersalah hanyalah.
(2)   barang siapa, secara langsung atau secara tidak langsung, pura-pura,  menyatkan sendiri di muka umum , atau menyaatakan seorang tukang sihir adalah bersalah dari satu penyerangan.
(3)   Seseorang yang mempengaruhi atau mencoba untuk mempengaruhi perbuatan dari orang lain oleh penggunaan atau penggunaan terancam dari orang-orang yang berwenang atau jasa dari satu tukang sihir seperti halnya adalah bersalah dari satu penyerangan.
Hukuman:   Pada hukuman pada indictment–imprisonment untuk satu masa tidak dua tahun pelebih. Pada rangkuman conviction–imprisonment untuk satu masa tidak tahun sesuatu pelebih.
b.      Perbuatan jahat dari ilmu sihir:
Barang siapa:
(1)   apakah apapun ulah dari ilmu sihir melarang; atau
(2)   bantuan, sekutu, nasehat atau memperoleh, atau dengan akta atau penghilangan adalah bagaimanapun juga dengan sadar terkait di atau pihak ke, melakukan dari apapun akta demikian,
adalah bersalah dari satu penyerangan.
Hukuman:   Pada hukuman pada indictment–imprisonment untuk satu masa tidak lima tahun pelebih.
Pada rangkuman conviction–imprisonment untuk satu masa tidak tahun sesuatu pelebih.
c.       Mencoba untuk melakukan penyerangan atas pertolongan ilmu sihir:
(1)   Kalau satu ulah dari ilmu sihir dimaksudkan untuk menghasilkan atau mengaku untuk menghasilkan apapun hasil tidak sah, orang melakukan akta adalah bersalah dari satu coba untuk menghasilkan hasil itu dan adalah yang dapat dihukum bersesuaian.
(2)   apapun Sekalipun di lain hukum, fakta yang hasil tidak sah lakukan sesungguhnya ikuti ulah dari ilmu sihir tidak mencegah satu beban dari satu penyerangan tercoba dibawakan di bawah Subseksi (1 ), tapi tidak ada apapun di pengaruh bagian ini operasi dari Bagian 20
d.      Mengurus unsur penyerangan menggunakan ilmu sihir, dan sebagainya:
(1)   bagian Ini tidak menerapkan dimana ulah dari ilmu sihir melibatkan adalah satu ulah dari tidak berdosa ilmu sihir hanyalah.
(2)   Seseorang siapa tidak dengan sah urus ke orang lain atau ke satu binatang.
(a)   apapun unsur yang  telah subjek perbuat dan lakukan dari ilmu sihir; atau
(b)   apapun unsur pada sepanjang atau di pemenuhan dari perbuatan/melakukan ilmu sihir, adalah bersalah dari satu penyerangan.
Hukuman:   Hukuman penjara untuk satu masa tidak delapan tahun pelebih.
e.       Laporan palsu dari ilmu sihir, dan sebagainya.
(1)   bagian Ini tidak menerapkan jika dimana ilmu sihir yang melibatkan atau tuduhan terbelit adalah ilmu sihir tidak bersalah hanyalah.
(2)   Fitnah Menindak 1962 tidak berlaku bagi atau dalam hubungan dengan satu penyerangan melawan Subseksi (3 ) atau (4 ).
(3)   (3 ) Seseorang siapa (terkecuali pada sepanjang, atau dengan maksud institusi dari, berproses sah atau di apapun kasus  other dimana demikian satu pendakwaan atau ancaman adalah istimewa atau pemaaf di mata hukum) dengan licik menuduh, untuk sepertiga  person, atau ancam untuk menuduh of– orang lain.
(a)   adalah satu tukang sihir atau melaksanakan atau mempunyai terlaksana satu ulah dari ilmu sihir; atau
(b)   atau telah dikaitkan di, atau satu pihak ke, satu ulah dari ilmu sihir, adalah bersalah dari satu penyerangan.
Hukuman:   Hukuman penjara untuk satu masa tidak tahun sesuatu pelebih.
f.        Pemilikan dari penerapan dengan ilmu sihir melarang.
Seseorang siapa, tanpa permintaan maaf sah menurut hukum (bukti dari yang mana berada di atas dia), punya pada pemilikannya satu implement
(1)   terbuat atau diadaptasi untuk pergunakan pada satu tertentu ulah dari melarang ilmu sihir; atau
(2)   dimaksud untuk pergunakan pada satu ulah dari ilmu sihir melarang, adalah bersalah dari satu penyerangan.
Hukuman:   Hukuman penjara untuk satu masa tidak tahun sesuatu pelebih.
Adapun jenis-jenis tindak pidana sihir beserta pidana di dalam Undang-undang sihir Papua Nugini menurut Laporan Komisi Pembaharuan Hukum dalam praktik sebagai berikut:
1.      Berpura-pura sebagai penyihir, pidana penjara pada Pengadilan Negeri 1 tahun, pidana penjara pada Mahkamah Agung 2 tahun penjara.
2.      Menggunakan sihir untuk mempengaruhi orang lain, pidana penjara pada Pengadilan Negeri 1 tahun, pidana penjara pada Mahkamah Agung 2 tahun.
3.      Melakukan sihir jahat dan membantu melakukan sihir jahat tersebut, pidana penjara pada Pengadilan Negeri 1 tahun, pidana penjara pada Mahkamah Agung 5 tahun.
4.      Menyediakan sesuatu untuk melakukan sihir jahat, pidana penjara 8 tahun.
5.      Memiliki peralatan untuk melakukan sihir jahat, pidana penjara 1 tahun.
6.      Percobaan melakukan sihir, pidananya tergantung pada jenis kejahatan yang dilakukan.
7.      Berpura-pura melakukan sihir atau memberikan ramalan atas nasib, pidana penjara 1 tahun.
Menuduh orang lain melakukan sihir, pidana penjara 1 tahun
Menurut Komisi Pembaharuan untuk Reformasi Hukum (Law Reform Commission) Papua Nugini (dibentuk berdasarkan Undang-undang Komisi Pembaharuan untuk Reformasi Hukum Papua Nugini Tahun 1975) ketika memberi penafsiran terhadap ketentuan Part V, bukti dalam kasus sihir tidak ditentukan secara ketat, dalam artian majelis hakimlah dalam kasus per kasus yang akan melakukan pemeriksaan dalam proses peradilan, atau dengan kata lain pengamatan hakim dipersidangan juga dapat berperan sebagai alat bukti tersendiri.
Selain itu kepemilikan instrumen sihir harus menjadi bukti bahwa ia melakukan perbuatan sihir ketika bukti lain tidak ditemukan. Dengan demikian standar alat bukti adalah adanya kepemilikan perangkat atau benda-benda sihir dan pengamatan hakim saat persidangan. Undang-undang sihir ini menurut pemberitaan terakhir, yaitu menurut Radio New Zealand tanggal 29 Mei 2013, telah dicabut oleh pemerintah Papua Nugini dan menggantikannya dengan pidana mati.
3.      Hukum Islam
Adapun kalangan yang menolak pasal santet masuk KUHP kerap menyebut bahwa kalau A menuduh B menyantet dirinya, maka itu tidak bisa dibuktikan. Sehingga adanya pasal KUHP akan sia-sia. Oleh karena itu, dibiarkan saja. Namun cara berfikir ini berarti akan membiarkan adanya santet di masyarakat yang meresahkan. Juga adanya kasus-kasus main hakim sendiri oleh masyarakat yang sudah tidak tahan dengan beredarnya gosip-gosip  bahwa si fulan tukang santet yang telah membunuh banyak orang dengan santetnya. Artinya KUHP tidak tahu caranya mengatasi bahaya santet di masyarakat. Jika demikian, maka  KUHP adalah hukum yang tidak tahu mengatasi masalah atau bahasa Arabnya “Hukuml Jahliyyah” (lihat QS.Al Maidah 50).[8]
Menurutt hukum pidana Islam yang merupakan hukum Allah Yang Maha Kuasa, Tuhan YME, sihir adalah perkara yang dilarang. Dalam QS. Al Baqarah 102, Allah mengistilahkan penggunaan sihir sebagai perbuatan kafir dan sihir adalah ajaran syetan. Artinya, sihir masuk kategori perbuatan kriminal (jarimah) maka harus dicegah dengan hukuman (uqubat).  
Di dalam kitab Al Umm Juz I/256, Imam As Syafi’i meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin al Khaththab r.a. memerintahkan pejabatnya menghukum mati para tukang sihir dan tercatat pejabat pemerintah  waktu itu mengeksekusi tiga orang tukang sihir.
Menurut Imam As Syafi’i, jika diajukan ke mahkamah, maka hakim harus meminta tukang sihir menggambarkan sihirnya. Jika sihirnya berupa kata-kata yang jelas-jelas  kufur, maka tukang sihir itu diminta bertobat. Bila tidak mau bertobat, dia dihukum mati dan hartanya disita negara. Kalau mantra-mantra tukang sihir tidak menunjukkan kekufuran  dan tidak mencelakakan orang, maka dia dilarang saja tapi tidak dihukum. Jika dia mengulangi mantra sihir itu,  maka dia dihukum ta’zir, berupa hukum cambuk, penjara, atau kerja paksa. Jika dia tahu bahwa sihirnya membahayakan orang walau tidak sampai mematikan, maka dia dihukum ta’zir.
Namun jika dia mengerjakan sihir yang mematikan sasaran dan dia memang sengaja  menyihirnya hingga mati, maka penyihir itu dihukum mati sebagai qishash.   Kecuali jika wali korban memilih memaafkannya dengan mengambil diyat atau ganti rugi senilai 1000 dinar atau 2,4 miliar rupiah. Jika dia mengaku salah sasaran, maka dia wajib bayar diayat dan tidak diqishash. Kalau dia mengaku memang menyihirnya tapi sihirnya  hanya menimbulkan penyakit, tidak mematikan, maka ahli waris korban harus bersumpah bahwa mayyit meninggal karena terkena sihirnya dan ahli waris berhak dapat diyat, bukan qishash.  
Menurut Al Mawardi dalam Al Hawi al Kabir Juz 13/97-98, seorang yang dituduh tukang sebagai sihir tidak boleh dihakimi massa. Dia diajukan ke pengadilan dan akan ditanya oleh hakim apakah benar yang didakwakan?.Jika dia menolak, maka dia diminta bersumpah bahwa dia bukan tukang sihir dan tidak menyihir. Maka dia akan dibebaskan dari tuduhan setelah bersumpah.
Jelas hukum syariat Islam sebagai hukum Allah Yang Maha Kuasa sangat bisa mengatasi kejahatan santet, sihir, teluh, atau apapun namanya untuk melindungi keselamatan jiwa  dan menjaga ketertiban masyarakat. Ini perlu masuk KUHP. Lebih perlu lagi, seluruh pasal dalam RUU KUHP distandarisasi oleh para ulama ahli syariah dengan hukum syariat Allah yang Maha Tahu cara mengatasi seluruh masalah manusia. Kesanalah para anggota DPR belajar, bukan studi banding ke Eropa.

LANJUT BAB III




[1] Idem,Hlm. 290.
[2] Idem, Hlm. 292.
[3] Idem, Hlm. 293.
[4]Bahaya Laten Santet, http://surabaya.okezone.com/read/2013/04/17/524/792828/bahaya-laten-santet//diakses pada tanggal 19 November 2014, jam 10.30.

[5] Idem, Hlm. 294.
[6] Idem, Hlm. 296.
[7] Soal Hap Sihir, http://samardi.wordpress.com/2013/06/05/soal-hap-sihir/, diaskes pada tanggal 21 November 2014, jam 09.45.
[8] Hukum Syariah tentang Santet Perlu Masuk KUHP, http://www.suara-islam.com/read/index/6963/Hukum-Syariah-tentang-Santet-Perlu-Masuk-KUHP, diakses pada tanggal 21 November 2014, jam 11.55.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Pengaturan Tindak Pidana Santet dalam Konsep Rancangan Undang-undang BAB II"

Post a Comment

/* script Youtube Responsive */