Makalah Ushul Fiqih, Definisi,tujuan, objek,ruang lingkup, perbedaan dan persamaan fiqih dengan ushul fiqih serta sejarah perkembangannya



  1. Puji syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat Nya penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.Makalah ini merupakan makalah Ushul Fiqih yang membahas mengenai Pengertian ,Objek, Tujuan, Ruang Lingkup, Perbedaannya dan Perkembangan Ushul Fiqih .Secara khusus pembahasan dalam makalah ini diatur sedemikian rupa sehingga materi yang disampaikan sesuai dengan mata kuliah. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala­­-kendala yang kami hadapi teratasi . oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih kepada:
1.                  Bapak dosen mata kuliah USHUL FIQIH yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada kami sehingga kami termotivasi dan menyelesaikan tugas makalah ini.
2.                  Orang tua, teman dan kerabat  yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas makalah ini selesai.
Kami sadar, bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan.Untuk itu kami meminta maaf apabila ada kekurangan. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna meningkatkan kualitas makalah penulis selanjutnya. Kebenaran dan kesempurnaan hanya Allah-lah  yang punya dan maha kuasa .Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat tersendiri bagi generasi muda islam yang akan datang, khususnya dalam bidangUshul Fiqih.

Banjarmasin, 20 Februari 2015
Kelompok I


Daftar Isi


A.    Latar Belakang
Menggambarkan bahwa yang menjadi objek kajian para ulama ushul fiqih adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global) seperti kehujjahan ijma’ dan qiyas. Ushul fiqih juga membahas bagaimana cara mengistinbathkan hukum dari dalil-dali, seperti kaidah mendahulukan hadits mutawatir dari  hadits ahad dan mendahulukan nash dari zhahir. Dari definisi di atas, terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqih secara garis besarnya ada tiga: Sumber hukum dengan semua seluk beluknya. Metode pendaya gunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya.Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya. Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh adalah ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu.
Pertumbuhan Ushuul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW. sampai pada zaman tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriah. Di zaman Rasulullha SAW., sumber hukum islam hanya dua, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Apabila ia muncul suatu kasus, Rasulullah SAW. Menunggu turunnya waahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau Sunnah.






1.      Apa pengertian dari Ushul Fiqih ?
2.      Apa saja Objek yang dipelajari dalam Ushul fiqih ?
3.      Apa Tujuan Mempelajari Ushul Fiqih ?
4.      Apa saja Ruang lingkup Ushul Fiqih ?
5.      Apa perbedaannya antara fiqih dengan Ushul fiqih ?


1.      Untuk mengetahui pengertian Ushul Fiqih.
2.      Untuk mengetahui Objek yang dipelajari  dalam Ushul Fiqih.
3.      Mengetahui tujuan Mempelajari Ushul Fiqih.
4.      Mengetahui Ruang lingkup ushul Fiqih.
5.      Mngetahui dan dapat Membedakan antara fiqih dan Ushul Fiqih.












Ushul fiqih terdiri atas dua kata yang masing-masing mempunyai arti cukup luas, yaitu ushul dan fiqih. Dalam bahasa arab kata ushul merupakan jama’ dari Ashal yang artinya fondasi sesuatu.Sedangkan fiqih berarti pemahaman secara mendalam yang membutuhkan pergerakan potensi akal atau ilmu yang menjelaskan tentang hukum syar’iyah yang berhubungan dengan segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang diambil dari nash-nash yang ada, atau dari mengistinbath dalil-dalil syariat Islam .
 Secara termonologi, kata Ashl mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut:
1.      Dalil (landasan hukum) seperti ungkapan para ulama ushul fiqih: “ Ashl dari wajibnya shalat adalah firman Allah dan Sunnah Rasul.” Maksudnya. Yang menjadi dalil kewajiban shalat adalah ayat Al-qur’an dan Sunnah.
2.   Qaidah (dasar fondasi) seperti sabda Rasul saw.
Artinya :
“Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).”
3.   Rajah (yang terkuat) seperti ungkapan para ahli ushul fiqih :
Artinya :
“Yang terkuat dari (kandungan) suatu ungkapan adalah arti hakikatnya.”
Maksudnya setiap perkataan yang didengar/dibaca yang menjadi patokan adalah makna hakikat dari perkataan itu.
4.   Far’un (cabang) seperti ungkapan para ahli ushul fiqih:
Artinya :
“Anak adalah cabang dari ayah.”
5.   Kaidah lainnya :
Artinya :
“Larangan itu mengandung keharaman.”

Definisi ushul fiqih :
Menggambarkan bahwa yang menjadi objek kajian para ulama ushul fiqih adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global) seperti kehujjahan ijma’ dan qiyas. ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fiqih”. Ushul fiqih juga membahas bagaimana cara mengistinbathkan hukum dari dalil-dali, seperti kaidah mendahulukan hadits mutawatir dari hadits ahad dan mendahulukan nash dari zhahir.

Dari definisi di atas,terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqih secara garis besarnya ada tiga:
1.      Sumber hukum dengan semua seluk beluknya.
2.      Metode pendaya gunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari
sumbernya.
3.      Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya.
Sementara itu,Muhammad Al-Juhaili merinci objek kajian ushul fiqih sebagai berikut:
1.   Sumber-sumber hukum syara’baik yang di sepakati seperti Al-Qur’an dan sunah,maupun yang di perselisihkan,seperti istihsan dan maslahah mursalah.
2.   Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad.

3.   Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir,ayat dengan ayat atau sunah dengan sunah ,dan lain-lain baik dengan jalan pengomromian (Al-Jam’u’wa At-taufiq).meguatkan salah satu (tarjih),pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain)
4.   Pembahasan hukum syara’yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya,baik yang bersifat tuntutan,larangan,pilihan atau keringanan (rukhsah).Juga di bahas tentang hukum,hakim,mahkum alaih (orang di bebani) dan lain-lain.
5.   Pembahasan kaidah-kaidah yang akan di gunakan dalam mengistinbath hukum dan cara menggunakannya. (Al-Ghazali :7,Al-Amidi, 1:9,Al-Juhaili:23)


            Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh adalah ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung didalamnya.Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan tersebut.
            Memang dengan metode tersebut para ulama telah berhasil merumuskan hukum syara dan telah terjabar secara rinci dalam kitab-kitab fiqh. Lantas untuk apa lagi, ushul fiqh itu bagi umat yang datang kemudian ? dalam hal ini adadua maksud mengetahui ushul fiqh itu.
            Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan ulama terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh terdahulu,maka kita dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu itu.
            Kedua,  bila kita mengadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab fiqh,tetapi  mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kaji ulang terhadap suatu kaidah ataumenetukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik  usaha dan cara ulama lama dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara baik dalam ilmu ushul fiqh.

D.    Ruang Lingkup Ushul Fiqih dan Perbedaan Fiqih dan Ushul Fiqih
1.      Ruang Lingkup Ushul Fiqih
               Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih ,maka Muhammad Al-Zuhaili (seorang ahli fiqih dan ushul fiqih dari syariah) mengatakan bahwa yang menjadi objek pembahasan ushul fiqih yang dapat membedakan dengan kajian fiqih adalah sebagai berikut:
1.            Sumber hukum islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’, baik yang disepakati  (seperti kehujjahan  AL-Quran dan Sunah), maupun yang diperselisihksn (seperti  kehujjahan istihsan dan maslahah al-mursalah).
2.            Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zahir dianggap bertentangan, baik melalui al-jam’u wa al-taufiq (pengompromian dalil ),tarikh (penguatan salah satu dari dalil yang bertentangan), nash  atau tasaqutal-dalilain(pengguguran kedua dalil yang bertentangan).Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, atau pertentangan hadis dengan pendapat akal.
3.            Pembahasan ijtihad, sayarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahit), baik syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
4.            Pembahasan tentang hukum syara’, yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya , baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan , memilih antara berbuat atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab  syarat, mani,’, sah, batal/fasad, azimah, dan rukhsah. Dalam pembahasan hukum ini juga dibahas tentang pembuat hukum  (hakim), orang yang dibebani hukum (mahkum  ‘alaih, ketetapan hokum dan syarat-syaratnya serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum.
5.                Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam mengistinbatkan hokum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash (ayat atau hadis).
        Dalil kulli ialah dalil umum yang dapat dimasukkan kedalamnya beberapa kasus tertentu seperti amar,,nahi,  ‘am, mutlaq, ijma’, dan qiyas.
        Hukum kulli  ialah hukum umum yang masuk kedalamnya beberapa macam, seperti  wajib, haram, sah, batal, dan sebagainya Wajib dinamakan  hukum kulli karena kedalamnya dapat dimasukkan berbagai  perbuatan  yang wajib,umpamanya,wajib memenuhi  janji, wajib mengadakan saksi dalam perkawinan. Haram adalah hukum  kulliyang masuk kedalamnya beberapa macam perbuatan yang diharamkan, seperti  haram berbuat zina, haram menuduh berbuat  zina,haram mencuri, haram membunuh,  dan sebagainya.
        Ahli ushul tidak membahas dalil juz’i  ,namun yang mereka bahas adalah dalil dan hukumkulli yang diletakkan dalam kaidah umum yang dapat diterapkan oleh para fuqaha pada setiap kasus. Sebaliknya para fuqaha  tidak membahas dalil dan hukum  kulli, namun yang  mereka bahas adalah dalil dan hukumjuz’i .

2.      Perbedaan Fiqih dan Ushul Fiqih
Dari ta’rif fiqih dan ushul fiqih diatas maka dapat disimpulkan bahwa fiqh itu adalah mempelajari dan mengetahui hukum-hukum syari’at agama islam, sedangkan ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang dibutuhkan untuk mengeluarkan hukum dan perbuatan-perbuatan manusia yang di kehendaki oleh fiqih.
Ushul fiqih merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbat hukum dan objeknya selalu dalil hukum, sementara objek fiqihnya selalu perbuatan mukallaf yang di beri status hukum. Walaupun ada titik kesamaan yaitu keduanya merujuk kepada dalil, namun konsentrasinya berbeda, yaitu ushul fiqih memandang dalil dari sisi cara penunjukan atas suatu ketentuan suatu hukum, sedangkan fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalil pohon yang dapat melahirkan buah, sedangkan fiqih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.
Ilmu fiqih adalah merupakan prodok dari ushul fiqih.Ilmu fiqih berkembang karena berkembangnya ilmu ushul fiqih. Ilmu fiqih akan bertambah maju manakala ilmu ushul fiqih mengalami kemajuan, karena ilmu ushul fiqih adalah semacam ilmu alat yang menjelaskan metode dan sistem penentuan hukum berdasarkan dalil-dalil terperinci.[1]
Ilmu ushul fiqih adalah ilmu alat-alat yang menyediakan bermacam-macam ketentuan dan kaidah, sehingga diperoleh ketetapan hukum syara’ yang harus diamalkan manusia.Untuk memudahkan pemahaman masalah ini, kami kemukakan seperti contoh tentang perintah mengerjakan sholat berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 78 sebagai berikut:

أقم  الصلاة  لدلوك  الشمش  إلى  غسق  اليل  وقرآن  الفجر  إن  قرآن  الفجر  مشهودا

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula) shalat subuh, Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.[2]
            Sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
صلوا  كما  رأيتموني  أصلي                                                
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”.( H.R. Muttafaqun alaihi )[3]

   Dari firman Allah dan hadits Nabi diatas belum dapat diketahui, apakah hukumnya mengerjakan shalat itu, wajib, sunat, atau harus. Dalam masalah ini ushul fiqih memberikan dalil bahwa hukum perintah atau suruhan itu asalnya wajib, terkecuali adanya dalil lain yang memalingkannya dari hukumnya yang asli itu. Hal ini dapat dilihat dari kalimat perintah atau amar mengenai mengerjakan shalat bagi penganut agama islam.
الأصل  فى  الأمر  للوجوب                                               
“Pokok dalam perintah ( amar ) menunjukkan ( yaitu wajib perbuatan yang diperintahkan )
            Berdasarkan kaidah Ushul Fiqih di atas jelaslah bahwa hokum shalat lima waktu adalah wajib.
E.     Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh
            Pertumbuhan Ushuul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW.sampai pada zaman tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriah. Di zaman Rasulullha SAW., sumber hukum islam hanya dua, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Apabila ia muncul suatu kasus, Rasulullah SAW. Menunggu turunnya waahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut.Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau Sunnah.
            Dala menetapkan hukum dari berbagai kasus di zaman Rasulullah SAW.Yang tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an, para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa ada isyarat bahwa Rasulullah SAW. Menetapakannya melalui ijtihad. Hal ini dapat diketahui melalui sabda Rassulullah SAW. :
Artinya :“Sesungguhnya saya adalah manusia (biasa), apabila saya perintahkan kepadamu sesuatu yang menyangkut agamamu, maka ambillah dia. Dan apabila aku perintahkan kepadamu sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka sesungguhnya aku adalah manusia (biasa)”. (H.R. Muslim dari RAfi’ ibn Khudaij)
Hasil ijtihad Rasulullah SAW. Ini secara otomatis menjadi sunnah sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat Islam.
            Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW. Juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat.Misalnya, beliau qiyas ketika mejawab pertanyaan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang batal-tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW. Ketika itu bersabda :
Artinya :“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal ?” ‘Umar menjawab, ‘Tidak apa-apa’ (tidak batal). Rasulullah SAW. Kemudian bersabda, “Maka teruskan puasamu.” (H.R. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
            RAsulullah SAW. Dalam hadits ini, menurut para ushul fiqh, mengqiyaskan hukum mencium istri dalam keadaan berpuasa.Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa, maka mencium istri pun tidak membatalkan puasa.
            Cara-cara RAsulullah SAW. Dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh ada bersamaan dengan hadirnya “fiqh”, yaitu sejak zaman Rasulullah SAW.Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat, karena wahyu dan Sunnah Rasul tidak ada lagi, sementara persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang. Para tokoh mujtahid yang termasyhur di zaman sahabat, diantaranya ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘Ali ibn Abi Thalib, dan ‘Abdullah ibn Mas’ud. Dalam berijtihad, ‘Umar ibn al-Khaththab seringkali mempertimbangkan kemaslahatan umat, dibanding sekedar menerapkan nasshs secara zhahir, sementara tujuan hukum tidak tercapai. Misalnya, demi kemaslahatan rakyat yang ditaklukan pasukan Islam disuatu daerah, ‘Umar ibn al-Khaththab menetapkan bahwa tanah di daerah tersebut tidak diambil pasukan Islam, melainkan dibiarkan digarap oleh penduduk setempat, dengan syarat setiap panen harus diserahkan sekian persen kepada pemerintahan Islam.Sikap ini diambil ‘Umar ibn al-Khaththab didasarkan atas pemikiran bahwa apabila tanah pertanian didaerah itu diambil pemerintah Islam, maka rakyat di daerah tersebut tidak memiliki mata pencaharian, yang akibatnya bisa memberatkan beban Negara. Para ulama ushul fiqh berpendapat bahwa landasan pemikiran ‘Umar ibn al-Khaththab dalam kasus ini adalah demi kemaslahatan (mashlahah).
            ‘Ali ibn Abi Thalib juga melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyasyaitu meng-qiyas-kan hukuman orang yang meminum khamar dengan hukuman orang yang melakukan qadzaf  (menuduh orang lain berbuat zina). Alasan ‘Ali ibn Abi Thalib adalah bahwa seseorang yang mabuk karena meminum khamar akan mengigau. Apabila ia mengigau, maka ucapannya tidak bisa dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi pelaku qadzaf adalah 80 kali dera. Oleh sebab itu, hukuman orang meminum khamar sama dengan hukuman menuduh orang lain berbuat zina. Perkembangan permasalahan di zaman sahabat ini memerlukan upaya ijtihad yang semakin luas.
            Selain bertebarnya para sahabat diberbagai daerah yang saling berbeda budaya, dalam kasus yang sama, hukum di satu daerah dapat berbeda dengan di daerah lainnya. Perbedaan hukum ini berawal dari perbedaan cara pandang dalam menetapkan hukum pada kasus tersebut.
            Di zaman tabi’in, permasalahan hukum yang muncul pun semakin kompleks.Para tabi’in melakukan ijtihad diberbagai daerah Islam.Di Madinah muncul berbagai fatwa berkaitan dengan berbagai persoalan baru, sebagaimana dikemukakan Sa’id ibn al-Musayyab.Di Irak muncul ‘Alqamah ibn Waqqas, al-Laits dan Ibrahim al-Nakha’i.Di Bashrah muncul pula mujtahid di kalangan tabi’in, seperti Hasan al-Bashri.
Titik tolak para Ulama tersebut dalam menetapkan hukum bisa berbeda; yang satu melihat dari sudut mashlahat, sementara yang lain menetapkan hukumnya melalui qiyas. Ulama ushul fiqh Irak lebih dikenal dengan penggunaan ra’yu, dalam setiap kasus yang dihadapi mereka berusaha mencari berbagai ‘illat-nya; sehingga dengan ‘illatini mereka dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan hukum yang ada nash-nya.Sikap ulama Irak ini bukan berarti meninggalkan Sunnah Rasulullah SAW., tetapi sikap itu mereka ambil karena sangat sedikit Sunnah Rasulullah SAW.Yang bisa mereka temukan.Adapun para ulama Madinah banyak menggunakan Hadits-hadits Rasulullah SAW., karena mereka dengan mudah dapat melacak Sunnah Rasulullah SAW di daerah tersebut. Di sinilah awal perbedaan dalam mengistinbathkan hukum dikalangan ulama fiqh.Akibatnya, muncul tiga kelompok ulama, yaitu Madrasah al-‘Iraq, Madrasah al-Kufah, dan Madrasah al-Madinah. Penamaan ini menunjukkan perbedaan cara dan metode yang dugunakannya dalam menggali hukum. Pada perkembangan selanjutnya, Madrasah al-‘Iraq dan Madrasah al-Kufah lebih dikenal dengan sebutan Madrasah al-Ra’yi, sedangkan Madrasah al-Madinah dikenal dengan sebutan Madrasah al-Hadits.
Setelah itu muncul para imam mujtahid, khususnya imam mazhab yang empat, yaitu :
1.      Nu’man ibn al-Tsabit yang lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M),
2.      Malik ibn Anas, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik (93-179 H/712-795 M),
3.      Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, yang lebih populer dengan sebutan Imam al-Syafi’i (150-204 H/767-820 M),
4.      Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H/780-855 M).
Masing-masing imam merumuskan metode ushul fiqh sendiri, sehingga terlihat dengan jelas perbedaan antara satu imam dengan imam lainnya dalam mengistinbathkan hukum dari al-Qur’an dan Sunnah.Imam Abu Hanifah mengemukakan urutan dalil dalam mengistinbathkan hukum sebagai berikut :al-Qur’an; Sunnah; fatwa yang didasarkan atas kesepakatan para sahabat; fatwa para tabi’in yang sejalan dengan pemikiran mereka; qiyas dan istihsan. Imam Malik, disamping berpegang kepada al-Qur’an, Sunnah, juga banyak mengistinbathkan hukum berdasarkan amalan penduduk Madinah (‘amal ahl al-madinah). Akan tetapi Imam Malik juga banyak menolak mengamalkan Sunnah, apabila terjadi pertentangan Sunnah dimaksud dengan al-Qur’an.
Selanjutnya Imam al-Syafi’i dengan metode-metode ijtihadnya dan sekaligus buat petama sekali membukukaan ilmu ushul fiqh yang dibarengi dengan dalil-dalilnya.Kitab ushul fiqh yang disusun Imam al-Syafi’i tersebut bernama al-Risalah.Kitab ini disusun berdasarkan khazanah fiqh yang ditinggalkan para sahabat, tabi’in, dan Imam-imam mujtahid sebelumnya.Imam al-Syafi’I berupaya mempelajari secara seksama perdebatan yang terjadi antara ahl al-hadits yang bermarkas di Madinah dengan ahl al-ra’yi di Irak.Dari kedua aliran ini Imam al-Syafi’i berusaha untuk mengompromikan pandangan kedua aliran tersebut, serta menyusun teori-teori ushul fiqhnya.Dalam kitabnya, al-Risalah, Imam al-Syafi’i berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, stelah melakukan berbagai analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah.Berdasarkan analisisnya inilah dia membuat teori ushul fiqh; yang diharapkan dapat dijadikan patokan umum dalam mengistinbathkan hukum, mulai dari generasinya sampai generasi selanjutnya.
Kandungan kitab al-Risalah ini pada masa sesudah Imam al-Syafi’i mejadi bahan pembasan para ulama ushul fiqh secara luas. Pembahasan mereka ada yang berbentuk men-syarh (menjelaskan) secara luas apa yang dikemukakan Imam al-Syafi’i dalam kitabnya itu, tanpa mengubah atau mengurangi apa yang ada dalam kitab tersebut. Juga ada yang melakukan pembahasan bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam al-Syafi’i, dengan mengemukakan aspek-aspek kekuatan dan kelemahan teori Imam al-Syafi’i; dan terkadang mengemukakan pendapat yang berlawanan dengan pendapat Imam al-Syafi’i. Misalnya ulama ushul fiqh dari kalangan Hanafi mengakui teori-teori ushul fiqh Imam al-Syafi’i, tetapi mereka menambahkan metode atau teori lainnya, yaitu istihsan dan ‘urf  dalam mengistinbathkan hukum. Ulama ushul fiqh Malikiyyah juga melakukan hal yang sama, yaitu menambahkan ijma’ ahl al-madinah (kesepakatan penduduk Madinah), karena status ijma’ ahl al-madinah, menurut mereka, merupakan Sunnah yang secara turun temurun dilaksanakan sejak zaman Rasulullah SAW. Sampai ke zaman mereka.Ijma’ ahl al-madinah tersebut tidak diterima Imam al-Syafi’i sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Islam.Di samping itu, ulama ushul fiqh Malikiyyah juga menambahkan metode istihsan, mashlahah mursalah (yang keduanya ditolak Imam al-Syafi’i) dan metode sad al-zari’ah.
Para Imam Mazhab dari ke empat Mazhab tersebut sepakat dengan dalil-dalil yang dikemukakan Imam al-Syafi’i, yaitu al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas.Tetapi masing-masing Mazhab menambahkan metode istinbath hukum lainnya, seperti yang dikemukakan di atas. Dalam analisis para ahli ushul fiqh kontemporer, seperti Husain Hamid Hasan, dari berbagai metoode yang dikemukakan para Imam Mazhab di atas, ulama ushul fiqh Syafi’iyyah (para pengikut Imam al-Syafi’i) ternyata menerima metode ‘urf, mashlahah mursalah, dan sadd al-zari’ah.Akan tetapi, mereka menolak metode istihsan dan ijma’ ahl al-madinah, karena dipandang tidak dapat dijadikan salah satu metode dalam mengistibathkan hukum Islam.
Terlepas dari perbedaan pendapat kalangan ushul fiqh (termasuk di kalangan Imam Mazhab yang empat), tentang berbagai metode ijtihad yang ada, para analisis ishul fiqh menyatakan bahwa pada masa keempat Imam Mazhab tersebut ushul fiqh menemukan bentuknya yang “sempurna”, sehingga generasi-generasi sesudahnya cenderung hanya memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada zamannya masing-masing.




Ushul fiqih mempunyai pengertian al-ushul berarti dalil-dalil fiqih, seperti Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, Ijma’, Qiyas, dan lain-lain.Al-Fiqih berarti pemahaman yang mendalam yang membutuhkan pengarahan potensi akal.
Objek Kajian Ushul Fiqih menurut Al-Ghazali membahas tentang hukum syara’, tentang sumber-sumber dalil hukum, tentang cara mengistinbatkan hukum dan sumber-sumber dalil itu serta pembahasan tentang ijtihad.
Ruang lingkup ushul fiqih secara global adalah sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya, bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut dan lain-lain.
Sejarah perkembangan ushul fiqih terlihat pada masa ushul fiqih sebelum dibukukan dan ushul fiqih sesudah dibukukan dan ushul fiqih pasca Syafi’i.
Tujuan dan urgensi ushul fiqih adalah mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat dan lain-lain.


Demikian makalah yang dapat kami sajikan.Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat  bermanfaat dan dapat menambah khasanah pengetahuan, manfaat untuk kita semua. Amiiinn...











Syarifuddin Amir, 2011. Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta ,Kencana.
Haroen, Nasrun, Haji UshulFiqih/NasrunHaroen, Jakarta logos, 1996.
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih , 1996, Edisi. 1, Cet. 3, Jakarta. PT .Raja Grafindo Persada.
Syafe’i Rahmat.,Ilmu Ushul Fiqih , 2010,Cet. IV, Bandung, Pustaka Setia.




[1]Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama  Dep.Agama R.I.,Pengantar ilmu fiqih, Jakarta 1981,hlm. 19.
[2]Dep. Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, 1971, hlm. 19.
[3]H.S.A.Al-Hamdani, Shifatu Shalati Rasulillahi SAW., Alih Bahasa H. AM. Bakri, Al-Maarif Bandung, cet ke 4, 1978, hlm. 7. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Ushul Fiqih, Definisi,tujuan, objek,ruang lingkup, perbedaan dan persamaan fiqih dengan ushul fiqih serta sejarah perkembangannya "

Post a Comment

/* script Youtube Responsive */